Jakarta – Sebanyak empat eks petugas pemilu melayangkan uji konstitusional ke Mahkamah Konstitusi terkait sistem keserentakan pemilu lima kotak.
Mereka di antaranya satu orang eks PPS dari Depok, dan satu eks PPK dari Depok, Jawa Barat. Kemudian satu orang eks KPPS dari Kabupaten Bantul, dan satu orang eks PPK dari Kabupaten Sleman, DI Yogyakarta.
Salah seorang kuasa hukum ke-4 pemohon, Catherine Natalia kepada Simantab.com mengatakan, permohonan sudah disampaikan ke MK secara online pada Senin (26/4/2021) kemarin.
Disebutkan, permohonan ini didasarkan pada beban penyelenggara pemilu, khususnya KPPS, PPS, dan PPK sangat luar biasa berat dengan sistem keserentakan lima kotak.
Pengalaman Pemilu 2019, beban berat itu membuat banyak penyelenggara pemilu kelelahan hingga jatuh sakit, bahkan 800 orang lebih meninggal dunia.
Fadli Ramadhanil dari Perludem yang juga salah satu kuasa pemohon menambahkan, kondisi saat ini, pilihan pembentuk undang-undang untuk tetap menggunakan format keserentakan pemilu lima kotak, dianggap tidak mematuhi prasyarat yang sudah diperintahkan MK di dalam Putusan No. 55/PUU-XVII/2019.
BACA JUGA
- Susi Pudjiastuti, Perempuan Paling Berpengaruh di Twitter
- ASN Ini Ungkap ke Medsos Dugaan Perzinahan Anggota DPRD Karo
Putusan tersebut memerintahkan untuk memilih format keserentakan pemilu, pembentuk undang-undang mesti melibatkan partisipasi banyak kalangan untuk mendapatkan masukan atas pilihan keserentakan pemilu.
Termasuk juga menghitung implikasi teknis beban penyelenggara pemilu atas pilihan format keserentakan pemilu.
“Menurut para pemohon, pembentuk undang-undang belum melakukan beberapa prasyarat yang diperintahkan oleh MK di dalam menentukan sistem keserentakan pemilu. Pilihan pembentuk undang-undang yang tidak melakukan revisi UU Pemilu, dianggap memilih format keserentakan pemilu lima kotak tanpa menghitung secara cermat beban kerja penyelenggara, khususnya KPPS, PPS, dan PPK,” jelas Fadhil dalam keterangan tertulis.
Menurutnya, di dalam permohonan ini, para pemohon meminta kepada MK untuk menyatakan bahwa keserentakan pemilu tidak menggabungkan pemilu Presiden, DPR, dan DPD dengan Pemilu DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota.
Sebab menurut mereka, menggabungkan empat pemilu legislatif sekaligus, menjadi salah satu penyebab rumit dan beratnya beban penyelenggara pemilu.
“Terkait format keserentakan seperti apa yang akan dipilih, dipersilakan pembentuk undang-undang memilih, sepanjang tidak menyerentakkan Pemilu Serentak Nasional (Presiden, DPR, dan DPD), bersamaan dengan Pemilu DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota,” tukasnya. ()