Pembangunan gedung DPRD senilai Rp6,5 miliar yang sudah berjalan sekitar tiga bulan sejak Juni 2025 tidak masuk kategori kebutuhan mendesak.
Pematangsiantar|Simantab – Protes jalanan yang digelar ratusan mahasiswa dan warga Kota Pematangsiantar, Senin (1/9/2025), akhirnya membuahkan hasil. Setelah berbulan-bulan menuai polemik, pembangunan gedung DPRD yang menelan anggaran miliaran rupiah resmi dihentikan.
Keputusan tersebut diambil usai Wali Kota Pematangsiantar Wesly Silalahi menandatangani pakta integritas. Isinya menegaskan bahwa renovasi Pasar Horas dan pembatalan pajak yang memberatkan masyarakat lebih diprioritaskan dibanding pembangunan gedung DPRD baru.
Langkah ini disambut baik berbagai kalangan, terutama para pedagang yang selama ini mendambakan perbaikan kondisi pasar.
Koordinator BEM, Jhon Efendi Nababan, menyatakan bahwa aksi demonstrasi yang mereka lakukan tidak hanya menyinggung isu nasional, melainkan juga persoalan lokal yang sudah lama menjadi kegelisahan masyarakat.
“Kami menuntut renovasi Pasar Horas dan penghentian pembangunan gedung DPRD. Itu yang utama bagi warga,” ujarnya.
Ia menegaskan, pembangunan gedung DPRD senilai Rp6,5 miliar yang sudah berjalan sekitar tiga bulan sejak Juni 2025 tidak masuk kategori kebutuhan mendesak.
“Banyak infrastruktur lain yang lebih vital, termasuk kondisi Pasar Horas yang semakin memprihatinkan. Itu seharusnya yang lebih dahulu dibenahi,” ucapnya.
Bagi pedagang, keputusan Wali Kota adalah kabar gembira yang sudah lama ditunggu. Ketua Komunitas Pedagang Pasar Horas (KP2H) Pematangsiantar, Agus Butarbutar, menyampaikan rasa syukur atas komitmen yang dituangkan secara tertulis.
“Kami sangat bersyukur. Ini bukan hanya janji, tapi sudah ada tanda tangan langsung dari Wali Kota,” kata Agus dengan lega.
Ia menambahkan, para pedagang sudah terlalu lama berdagang dalam kondisi yang tidak layak.
“Setiap hari kami harus berjualan di badan jalan. Itu menyebabkan kemacetan, belum lagi masalah genangan air saat hujan, lapak kotor, dan sirkulasi udara buruk yang membuat pasar terasa pengap. Situasi ini bukan hanya menyulitkan pedagang, tapi juga membuat pembeli enggan datang,” jelasnya.
Menurut Agus, pembangunan gedung DPRD tidak menyentuh kebutuhan masyarakat secara langsung.
“Bagaimana mungkin pemerintah lebih mementingkan kantor megah, sementara pasar yang menjadi jantung ekonomi kota dibiarkan terbengkalai?” ucapnya dengan nada heran.
Ia berharap renovasi Pasar Horas segera dimulai agar roda perekonomian warga kembali hidup. “Ini jauh lebih penting dibanding gedung DPRD. Kami akan terus mengawal agar janji ini benar-benar terlaksana,” katanya.
Agus juga mengapresiasi peran mahasiswa dan masyarakat sipil yang turut menyuarakan aspirasi pedagang. Menurutnya, apa yang terjadi adalah bukti nyata bahwa suara rakyat mampu mendorong perubahan kebijakan.
“Ini kemenangan bersama. Kami tidak ingin janji ini hanya berhenti di atas kertas. Harus ada hasil nyata yang bisa dirasakan masyarakat,” tegasnya.
Komitmen Pemimpin dan Tuntutan Rakyat
Ketua DPRD Pematangsiantar Timbul Lingga bersama jajaran Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) turut hadir merespons aksi tersebut.
“Kami tidak menutup mata. Semua tuntutan masyarakat akan kami catat, bahas, dan tindak lanjuti sesuai kewenangan kami. Kehadiran kami di sini bentuk komitmen untuk mengawal aspirasi ini,” ujarnya di depan massa.
Sebagai puncak aksi, Wali Kota Pematangsiantar menandatangani pakta integritas berisi tiga poin utama: membatalkan kebijakan yang tidak pro-rakyat, memprioritaskan renovasi Pasar Horas sekaligus menghentikan rencana pembangunan gedung DPRD, serta membatalkan kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) hingga 1000 persen yang dinilai memberatkan masyarakat.
“Melalui pakta integritas ini, saya siap melaksanakan tuntutan masyarakat,” tegas Wesly.
Aksi yang diikuti sekitar 150 orang tersebut tidak hanya berhasil menghentikan proyek gedung DPRD, tetapi juga memaksa pemerintah membatalkan kebijakan kenaikan PBB.
Jhon Efendi menambahkan, demonstran memberi waktu 2×24 jam bagi pemerintah untuk menindaklanjuti hasil kesepakatan. Jika tuntutan tidak diindahkan, mereka siap kembali turun ke jalan.
“Penandatanganan ini bukti nyata bahwa dialog antara pemerintah dan rakyat bisa menghasilkan keputusan positif. Namun jika janji tidak dipenuhi, kami tidak segan kembali menyuarakan aspirasi di jalanan,” pungkasnya.(Putra Purba)