“Kita, pengguna media sosial, jangan pernah lelah untuk melawan narasi setiap propaganda intoleransi dan radikalisme”
Jakarta|Simantab – Kelompok Ahli BNPT meminta masyarakat aktif melawan narasi intoleransi dan radikalisme di media sosial. Paham radikal mulai masuk lewat media sosial untuk memengaruhi generasi muda.
Salah satu korbannya, seperti kasus penangkapan remaja berinisial MAS (18) di Gowa, Sulawesi Selatan.
“Kita, pengguna media sosial, jangan pernah lelah untuk melawan narasi setiap propaganda intoleransi dan radikalisme,” kata anggota Kelompok Ahli BNPT Bidang Kerja Sama Internasional, Darmansjah Djumala, dalam keterangannya, Selasa (27/05/2025).
MAS diduga menjadi pengelola kanal propaganda pro-ISIS di aplikasi perpesanan, dan aktif menyebarkan ajakan melakukan pengeboman tempat ibadah. Dia ditangkap Densus 88 Antiteror Polri, Sabtu 24 Mei 2025.
Djumala menekankan perubahan pola dan pelaku terorisme harus menjadi perhatian semua pihak. Jika sebelumnya pelaku teror laki-laki dewasa, kini peta berubah drastis.
Peristiwa bom bunuh diri di tiga gereja di Surabaya pada 2018, kata dia, menjadi titik balik, pelaku adalah satu keluarga lengkap, termasuk anak-anak. Sejak itu, lanjut dia, perempuan dan remaja masuk dalam kelompok rentan terpapar ideologi kekerasan.
Menurut dia, perlindungan terhadap kelompok ini menjadi prioritas utama BNPT. Strateginya tidak bisa hanya mengandalkan aparat, tetapi harus berbasis pada masyarakat.
“Sikap intoleran itu embrio radikalisme yang akan bermuara pada tindakan kekerasan dan terorisme,” kata Djumala.
BNPT mendorong tiga pendekatan utama, yakni meningkatkan kesadaran publik (public awareness), mendorong keterlibatan publik (public engagement), dan memperkuat kolaborasi antar pemangku kepentingan (stakeholders collaboration). Ketiganya diarahkan untuk membangun ketahanan masyarakat melalui penguatan ideologi Pancasila, keharmonisan sosial, dan keutuhan keluarga.
Penangkapan MAS hanya satu bukti dari peta ancaman baru yang semakin digital dan menyasar anak muda. Kanal WhatsApp yang MAS kelola sejak Desember 2024 berisi diskusi ekstrem soal bom bunuh diri dan propaganda ISIS. Kasus ini menjadi pengingat ruang digital tidak netral, dan setiap warga, termasuk remaja, bisa menjadi sasaran perekrutan.
Sehingga, tak cukup hanya mengandalkan tindakan penegakan hukum. Masyarakat harus hadir sebagai peredam. Narasi tandingan harus digaungkan di rumah, sekolah, tempat ibadah, dan media sosial. Kesadaran kolektif ini yang menjadi benteng terakhir dari radikalisme yang terus berevolusi.(*)