Alih fungsi lahan memengaruhin ketahanan pangan lokal. Memperbesar ketergantungan terhadap pasokan pangan dari daerah lain
Pematangsiantar|Simantab – Alih fungsi lahan pertanian menjadi perumahan di Kota Pematangsiantar semakin marak. Dampaknya, produktivitas pertanian dan ketahanan pangan daerah terancam.
Fenomena ini memengaruhin ketahanan pangan lokal. Memperbesar ketergantungan terhadap pasokan pangan dari daerah lain, serta menghilangkan sumber penghidupan bagi banyak petani.
Ekonom Sumut, Gunawan Benjamin, menyarankan pemerintah kota seharusnya tidak mengorbankan lahan pertanian demi pengembangan permukiman.

“Jika lahan pertanian terus dikorbankan demi pembangunan perumahan, kita akan menghadapi defisit beras yang semakin membengkak. Apalagi mengembalikan lahan yang sudah beralih fungsi hampir mustahil dilakukan,” ujar Gunawan, Senin (24/2/2025).
Pemerintah, kata dia, harus membuat kebijakan yang mampu menjadikan petani sebagai pekerjaan prioritas dan memberikan keuntungan bagi petani itu sendiri. Pemenuhan kebutuhan bahan pangan pokok harus di atas kebutuhan pembangunan lainnya.
Ia menduga ada campur tangan pejabat Pemko Pematangsiantar dalam pemberian izin alih fungsi lahan, mengingat peraturan terkait tidak ditegakkan dengan ketat.
“Sebenarnya yang bisa menyaring apakah bisa dialihfungsikan atau tidak adalah pemerintah di tingkat daerah, bukan pemerintah pusat,” ungkapnya.
Tak hanya itu, Gunawan mendesak Pemko Pematangsiantar untuk berpedoman pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Penetapan dan Alih Fungsi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.
Ia juga menyarankan pencanangan pertanian modern untuk memaksimalkan potensi lahan, serta percepatan penyelesaian Raperda RTRW 2021-2041.
“Melalui kebijakan distribusi yang efektif, baik pemerintah di tingkat desa hingga kota, berkomitmen untuk meningkatkan aksesibilitas pangan bagi seluruh masyarakat, terutama bagi kelompok rentan.” tutupnya.
Di sisi lain, Kepala Bappeda Pematangsiantar Dedi Idris Harahap mengakui, dilema antara menjaga ketahanan pangan dan memenuhi kebutuhan tempat tinggal.

“Fenomena alih fungsi lahan di Pematangsiantar menjadi dilema dan sebagai tantangan besar bagi pemerintah daerah untuk menyeimbangkan kebutuhan pembangunan perumahan dengan menjaga ketahanan pangan. Ini masih kami godok perencanaannya bagaimana ke depan,” ungkapnya.
Bappeda mengklaim telah mengedukasi masyarakat untuk mempertahankan lahan produktif, terutama yang beririgasi.
“Selama ini kami tetap pantau di lapangan pengalihfungsian lahan. Dan yang diperbolehkan adalah yang tidak adanya aliran irigasi lagi dan lahan tersebut tidak produktif lagi,” ujarnya.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan penurunan luas lahan pertanian di Pematangsiantar setiap tahunnya. Pada tahun 2022, luas lahan pertanian tercatat 2.155 hektare, menurun dari 2.483 hektare pada 2021 dan 2.391 hektare pada 2020.
Sementara itu, Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian (DKPP) Kota Pematangsiantar menegaskan tidak pernah mengeluarkan izin alih fungsi lahan pertanian menjadi pemukiman.
Hal ini disampaikan Kepala Bidang Tanaman Pangan, Hortikultura, dan Perkebunan DKPP Pematangsiantar, Hotman Sibuea, untuk menyikapi masifnya alih fungsi lahan pertanian untuk kebutuhan perumahan di kota itu.
“Kami tidak bisa dan tidak pernah mengeluarkan izin alih fungsi lahan, justru harus mempertahankan lahan pertanian. Kalau kenyataannya banyak perumahan baru yang dibangun di bekas lahan sawah, itu jelas tanpa izin atau rekomendasi alih fungsi lahan dari kami. Pasti tidak akan ada sertifikatnya,” ujarnya.
Ia menyampaikan, wilayah Kota Pematangsiantar memiliki sekitar 28 persen luas lahan pertanian dari keseluruhan luas wilayah kota tersebut.
Saat ini, DKPP mencatat areal pertanian produktif di Pematangsiantar ada 1.995 hektar lahan pertanian. Seluas 1.780 hektar di antaranya adalah lahan persawahan yang tersebar di wilayah Marihat, Martoba, Sitalasari, dan Pematang Selatan.
“Sedangkan alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan pemukiman saat ini tidak sampai di angka 900 hektare. Memang benar masyarakat juga harus diberikan pemahaman pentingnya lahan pertanian pangan,” jelas Hotman.
Hotman mengakui dampak negatif alih fungsi lahan, seperti kurangnya lahan pertanian, kepadatan permukiman, berkurangnya hasil pertanian, lapangan kerja, dan area resapan air.
Meski demikian, DKPP tidak dapat melarang alih fungsi lahan karena perumahan juga merupakan kebutuhan pokok.
“Memang tidak mudah mengantisipasi alih fungsi lahan, apalagi situasinya sangat bergantung pada harga komoditas,” tuturnya.
Salah satu langkah yang dilakukan agar lahan pertanian terjaga dan petani tetap mencintai pekerjaannya, DKPP akan terus berupaya memberikan bantuan benih, alsintan, dan subsidi pupuk.
“Agar petani tetap mau menanam padi sawah dengan meringankan biaya produksi bagi petani, dengan memberikan bantuan benih, alsintan dan subsidi pupuk. Kami tidak bisa melarangnya terlalu jauh, tetap kami imbau selalu kepada pemilik lahan agar tidak melakukan alih fungsi,” pungkasnya.(putra purba)