Bagi warga, ini bukan sekadar bentrokan spontan, melainkan upaya sistematis untuk mengusir mereka dari tanah leluhur yang dihuni selama 11 generasi.
Simalungun|Simantab – Langit di atas Buttu Pangaturan, wilayah adat Sihaporas, Kecamatan Pamatang Sidamanik, Kabupaten Simalungun, menjadi saksi bisu bentrokan hebat yang pecah pada Senin pagi, 22 September 2025.
Peristiwa ini meninggalkan luka fisik, trauma mendalam, dan kembali memunculkan dua narasi bertolak belakang antara Masyarakat Adat Sihaporas dan PT Toba Pulp Lestari (TPL).
Di satu sisi, ada tudingan serangan brutal terhadap warga sipil. Di sisi lain, ada klaim penyerangan terhadap pekerja yang sedang bertugas.

Serangan Brutal dan Sistematis
Menurut masyarakat adat, kronologi dimulai sekira pukul 08.00 WIB. Suasana damai di sekitar rumah warga terusik. Sekitar 150 orang, terdiri dari sekuriti PT TPL, buruh harian lepas, dan sejumlah oknum yang diduga preman bayaran, datang dengan perlengkapan lengkap.
Mereka mengenakan helm, membawa potongan kayu panjang, dan tameng layaknya pasukan siap perang.
Sekitar 30 warga mencoba menghadang dan membuka ruang dialog. Namun, upaya itu gagal. “Dorong saja!” terdengar teriakan dari pihak sekuriti TPL, yang memicu kekerasan. Warga langsung disambut pukulan tongkat kayu dan lemparan batu.
Hengky Manalu dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tano Batak menyebut jumlah massa dari pihak perusahaan membeludak hingga sekitar 1.000 orang, datang dengan konvoi tujuh truk dan tiga mobil pribadi.
“Mereka langsung menyerbu masyarakat yang berjaga di Posko Buntu Pangaturan. Dalam video yang beredar, tampak pekerja TPL memukuli warga, termasuk ibu-ibu,” ujarnya, Selasa (23/9/2025).
Akibat bentrokan itu, puluhan warga terluka. Data awal mencatat empat korban luka serius, yaitu DL (34), SA (63), PS (55), dan ES (44). Data lanjutan mencatat total 33 korban luka (18 perempuan dan 15 laki-laki), termasuk seorang anak penyandang disabilitas yang dipukul di kepala.
Amuk massa tidak berhenti di situ. Fasilitas milik masyarakat adat dirusak dan dibakar. Posko perjuangan, rumah bersama, lima gubuk pertanian, dan empat rumah warga dilaporkan rusak parah. Sepuluh sepeda motor hangus, delapan unit dirusak, dan satu mobil pikap ludes terbakar.
Bagi warga, ini bukan sekadar bentrokan spontan, melainkan upaya sistematis untuk mengusir mereka dari tanah leluhur yang dihuni selama 11 generasi.
“Saat ini, warga telah melaporkan kejadian tersebut ke Komnas HAM dan berupaya berkomunikasi dengan DPR RI, sembari merawat korban di RSU Harapan,” kata Hengky.
PT TPL: Kami Diserang Saat Bekerja
Versi berbeda datang dari pihak PT TPL. Melalui Kepala Komunikasi Korporasi, Salomo Sitohang, perusahaan menegaskan bahwa merekalah yang diserang saat hendak melakukan aktivitas operasional legal di konsesi Sektor Aek Nauli.
Menurutnya, sekitar pukul 08.30 WIB, rombongan pekerja menuju lokasi penanaman dan pemanenan eukaliptus dihadang sekelompok orang yang menamakan diri Lamtoras. Kelompok ini disebut melempari batu ke arah pekerja dan kendaraan.
“Akibat serangan tersebut, enam orang dari pihak kami terluka,” ujar Salomo.
Ia merinci korban antara lain RT, SR, ER, M, dan NS.
Selain itu, TPL melaporkan massa membakar dua kendaraan operasional, yakni mobil patroli sekuriti dan truk pemadam kebakaran.
Salomo menegaskan seluruh operasional TPL dijalankan secara legal berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No. 493/Kpts-II/1992 jo. Keputusan Menteri LHK No. SK.1487/Menlhk/Setjen/HPL.0/12/2021.
“Kami selalu mengedepankan dialog terbuka dan solusi damai. Peristiwa ini sudah kami laporkan kepada pihak berwenang agar ditangani sesuai hukum yang berlaku,” tambahnya.
Akar Konflik: Pertaruhan Identitas di Tanah Leluhur
Insiden berdarah ini adalah puncak dari konflik agraria panjang. Bagi Masyarakat Adat Sihaporas, tanah ini bukan sekadar lahan, melainkan tano partahian (tanah leluhur) yang diwariskan sejak awal 1800-an oleh Ompu Mamontang Laut Ambarita.
Wilayah ini menjadi pusat kehidupan spiritual dan adat, tempat dilaksanakan tujuh ritual leluhur yang masih dijaga hingga kini.
“Masyarakat Sihaporas bukan pendatang, melainkan pewaris sah tanah leluhur,” tegas Hengky.
Sejarah mencatat keberadaan mereka jauh sebelum kemerdekaan, bahkan sebelum Belanda menerbitkan Peta Enclave pada 1916.
Di sisi lain, PT TPL berpegang pada izin konsesi seluas 2.360 hektare di Simalungun yang diberikan pemerintah. Salomo mengakui adanya tumpang tindih klaim lahan dengan masyarakat adat.
“Proses penyelesaian masih berlangsung dan belum final dari kementerian. TPL juga menunggu keputusan pemerintah supaya jelas,” katanya.
Kini, warga Sihaporas bertahan di tanah leluhur mereka dengan bayang-bayang serangan susulan, sementara TPL menanti proses hukum.
Hengky menekankan bahwa tanpa pengakuan dan perlindungan tegas terhadap hak masyarakat adat, bara konflik akan terus menyala.
“Kita tetap kawal dan sampaikan kepada masyarakat adat agar tetap bertahan di wilayahnya, jangan terpancing tindakan represif. Intinya bertahan di tanah adat,” pungkasnya.(Putra Purba)