Sosok  

Delima Silalahi, Guruku adalah Petani di Desa

Toba – Delima Silalahi, perempuan Batak yang tidak asing bagi masyarakat adat di Kawasan Danau Toba, Sumatra Utara.  Dikenal luas dengan aktivitasnya sebagai Direktur Program Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM).

Perempuan kelahiran 12 Juli 1976 di Siborongborong, Kabupaten Tapanuli Utara, itu hingga kini terus berjuang membantu masyarakat adat, masyarakat yang cenderung termarginalisasi oleh negara dan pemerintah. 

Perjuangan itu tidak ringan. Berjibaku dan berbagi peran sebagai seorang ibu untuk dua anak yang tengah bertumbuh remaja dan dewasa. 

Delima melakoni aktivitas dunia advokasi dan gerakan, berangkat dari sebuah pengalaman hingga bermuara pada kesadaran kritis.

“Pertama sejak kuliah sudah suka kegiatan-kegiatan sosial. Juga suka jalan ke desa-desa.  Mengenal beberapa orang pergerakan di kampus dan di GMKI. Jadi sudah tertarik dengan isu-isu sosial,” tutur perempuan dengan nama lengkap Masro Delima Silalahi, Sabtu (21/8/2021).

Kampus dan desa, dua entitas yang berbeda. Tapi menjadi titik berangkat mamanya Dian, putri sulungnya memutuskan di dunia advokasi dan pergerakan.

Sejumlah figur ikut membentuk karakter dan mengasah sikap kritis Delima untuk lebih jauh mengarungi bidang yang bagi sebagian orang bisa dibilang adalah aktivitas semu. Karena jauh dari kapital dan kemapanan ekonomi.

“Kesadaran kritis dan keberpihakan terhadap kelompok tertindas semakin muncul ketika mulai aktif di KSPPM. Banyak diskusi dengan para senior di KSPPM seperti Pdt Nelson Siregar, Saur Tumiur Situmorang, Eliakim Sitorus, Pdt Gomar Gultom, Pdt Sumurung Samosir, almarhum Asmara Nababan dan banyak lagi,” ungkapnya.

Bagi perempuan yang banyak mengikuti pelatihan advokasi dan gerakan di sejumlah negara selain di Tanah Air, memahami akar-akar  kemiskinan struktural dari proses hidup bersama masyarakat di desa atau yang biasa mereka sebut dengan live in.  

“Guru saya yang banyak mengubah perspektif saya tentang berbagai akar kemiskinan di pedesaan dan ketidakadilan struktural adalah para petani yang kami dampingi di desa. Di sanalah sekolah kehidupan yang sebenarnya,” tukas Delima yang mulai masuk KSPPM sejak 1999.

Sokongan Keluarga

Delima punya dua buah hati. Dian, yang kini sedang studi di salah satu perguruan tinggi dan Mitchel, bungsu yang sedang beranjak remaja.

Aktivitas Delima sebagai motor sebuah lembaga NGO meraih dukungan dari keluarga terutama anak-anaknya. 

Dia bahkan berharap kesadaran kritis yang dia emban dan jalankan, diserap dua anaknya. Kelak menjadi generasi yang peka dengan orang-orang yang terpinggirkan, lalu memperjuangkan mereka.

Delima Silalahi dengan putra putrinya.(Foto: Facebook)

Begitupun dia tetap berlaku adil. Menyeimbangkan perhatian kepada dua buah hati dan aktivitas yang digelutinya. Pengalaman yang diterima di dunia gerakan, justru menjadi energi positif mendidik anak-anak dan keluarga.

“Ini berjalanan beriringan. Aku sangat bersyukur mendapat kesempatan dan mengenal dunia NGO dan segala advokasi yang dilakukan. Nilai-nilai pembelajaran yang didapatkan sedikit banyak dipraktikkan di dalam hubungan dengan keluarga,” ungkap Delima.

Meski dia akui tantangannya banyak dan tidak mudah. Hanya saja dia berkeyakinan apa yang dilakukannya tulus.  

“Anak-anak, walau jarang bersama, tetap bisa mandiri, juga memahami apa yang saya lakukan. Berharap mereka juga nantinya menjadi generasi-generasi yang memiliki kesadaran kritis dan keberpihakan terhadap kelompok yang terpinggirkan. Karena tidak cukup hanya pintar secara akademik kalau tidak punya empati. Sejauh ini semua berjalan baik dan saling mendukung,” imbuh lulusan FISIP Universitas Sumatra Utara tahun 1998 itu.

Hingga kemudian hari ini tetap berjalan baik-baik saja, termasuk studi sang boru dan putra tetap berjalan di tengah aktivitasnya, Delima mengaku tak punya kiat khusus.

Dia hanya berserah kepada Tuhan. Sepanjang yang dilakukan bertujuan baik, dia yakin dan percaya Tuhan memberikan hal-hal baik dalam kehidupan keluarganya.

“Membagi waktu dengan baik. Menurut saya semua bisa diatur dengan baik. Waktu untuk diri sendiri, untuk pekerjaan dan untuk keluarga,” ujarnya.

Membangun Jaringan

KSPPM saat ini tengah mendampingi sejumlah masyarakat adat di Kawasan Danau Toba, berjuang mendapatkan hak-hak mereka dari penguasaan korporasi yang berkolaborasi dengan penguasa.

Delima memastikan, keberhasilan perjuangan masyarakat adat sesungguhnya ada pada masyarakat adat itu sendiri. 

KSPPM hanya mengorganisir, memfasilitasi diskusi-diskusi tentang hukum, HAM, politik, sosial dan juga pengembangan ekonomi rakyat agar masyarakat adat mampu memperjuangkan hak-hak mereka sendiri. 

Bisa jadi masyarakat adat sebelumnya tidak memiliki teman atau jaringan mereka, sehingga ada ketakutan berhadapan dengan penguasa,  pengusaha dan aparat. 

“Kami membangun pertemanan  dengan berbagai pihak sehingga menjadi satu gerakan. Semakin banyak teman maka keberanian semakin besar,” kata dia, menyebut peran yang dijalankan selama ini.

Melawan Stigma

Delima mengakui cukup banyak tantangan dihadapi dalam mendampingi masyarakat adat dan warga termarginal lainnya.

Misalnya pemerintah sebagai pengambil kebijakan sering tidak konsisten dengan kesepakatan yang sudah ada. Sehingga proses penyelesaian konflik berjalan lambat.  

Belum selesai konflik yang satu, konflik tanah lainnya muncul akibat hadirnya berbagai kebijakan pembangunan yang tidak berpihak pada masyarakat adat atau petani. 

Begitu juga dari sisi komunitas masyarakat adat, tantangannya tidak semua menyadari perjuangan hak itu membutuhkan napas panjang. 

Tidak sabar pada proses sehingga mudah tergiur dengan iming-iming perusahaan atau pihak lain. 

“Tapi itu hanya sebagian kecil saja yang kami temui. Buktinya ada banyak yang berjuang sudah puluhan tahun dan tetap konsisten berjuang,” tutur lulusan S2 Jurusan Sosiologi FISIP Universitas Gadjah Mada tahun 2015 itu.

KSPPM kata Delima, bergerak taktis dalam mendampingi masyarakat adat dan petani. Melakukan advokasi berbasis data dan melakukan kajian-kajian terkait kebijakan serta dampak-dampak kebijakan yang digulirkan pemerintah. 

Selain itu, KSPPM juga membangun jejaring dengan organisasi masyarakat sipil lainnya untuk mendukung dan menguatkan gerakan pendampingan masyarakat dan petani.

Menjadi narasumber dalam kegiatan diskusi. (Foto: Facebook)

Dia tak memungkiri, tantangan terberat juga datang dari sikap apatisme dan nyinyir dari kelompok yang terganggu dengan aktivitas pendampingan. Sialnya, itu justru datang dari kelompok yang dekat dengan masyarakat adat itu sendiri. 

“Stigma-stigma yang dibangun oleh pihak-pihak yang tidak menginginkan petani atau masyarakat adat terorganisir, misalnya stigma provokator, anti pembangunan dan lainnya. Itu sebenarnya menjadi tantangan ya, bagi kami.  Tapi itu kami sudah biasa hadapi. Waktu akan menjawab semua tuduhan DNA stigma,” kata Delima.

Bekal Bergerak

Delima bergerak bukan dengan kepala kosong. Dia punya bekal dan selalu mengupdatenya. Baik melalui pendidikan non-formal hingga dengan aktualisasi berupa penelitian dan menulis buku. 

Dia mengikuti berbagai pelatihan dan pendidikan non-formal yang dilakukan berbagai instansi tentang isu-isu sosial, politik, hukum dan hak asasi manusia. Diantaranya: 

2006: Kursus Investigasi dan Penelitian yang difasilitasi oleh INFID Jakarta di Bali

2009: Mengikuti training tentang Advokasi Anggaran Pertanian dan Kesehatan di Yogyakarta, difasilitasi oleh IDEA dan International Budget Partnership (IBP)

2010: Mengikuti Kursus Teknik Peliputan dan penulisan laporan Investigasi di Jakarta, difasilitasi oleh Pantau. 

2010: The Diplomacy Training Program, 20th Annual Human Rights and people diplomacy Training for Human Rights Defenders from The Asia – Pacific.  Kerja sama DTP dengan University of New South Wales (UNSW) Australia

2013: Lokakarya Ahli: Memfasilitasi Dialog dalam Mengatasi Konflik Sumber Daya Alam: Membangun Komunitas Fasilitator Perdamaian Konflik SDA di Indonesia”, diselenggarakan dI Bali oleh LIPI dan Kedutaan Swiss.

2017: Training Advokasi  “Land Rights di Asia Pasific” di Kamboja 

2018: Workshop On Conflict Analysis As A Strategic Planning Tool For Land Rights Programming, Manila, 10-15 Oktober 2018.

2019: Exposure Advokasi Hak Masyarakat Adat di Manila, Juni 2019. 

2019: Workshop Feminist Participatory Action Research di Chiang Mai, Oktober 2019

2020: Workshop Feminist Participatory Action Research di Chiang Mai, Februari 2020

Delima juga kerap menjadi pembicara di berbagai forum diskusi dan seminar, ikut melakukan penelitian hingga menulis buku. Buku yang dia hadirkan ke publik tahun 2020 berjudul ‘Tombak Haminjon Do Ngolu Nami’.[]

Iklan RS Efarina