Pemko Pematangsiantar tengah menyiapkan program Pengolahan Sampah Menjadi Energi Listrik (PSEL). Namun, kunci keberhasilan terletak pada disiplin warga membuang sampah tepat waktu.
Pematangsiantar|Simantab – Pemerintah Kota (Pemko) Pematangsiantar terus berupaya mencari solusi berkelanjutan terhadap persoalan sampah yang semakin menumpuk.
Melalui Dinas Lingkungan Hidup (DLH), Pemko kini menjajaki kerja sama dengan sejumlah daerah tetangga untuk melaksanakan Program Pengolahan Sampah Menjadi Energi Listrik (PSEL) yang digagas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) bersama Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Namun, di balik rencana ambisius itu, persoalan klasik masih menghantui: rendahnya disiplin masyarakat dalam membuang sampah sesuai jadwal pengangkutan. Akibatnya, tumpukan sampah masih sering terlihat di sekitar tempat pembuangan sementara (TPS), terutama setelah jam kerja petugas berakhir.
Kepala Bidang Pengelolaan Sampah dan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun DLH Pematangsiantar, Manotar Ambarita, menyebut sebagian warga masih membuang sampah di luar jadwal yang sudah ditetapkan.

“Ketika pembuangan dilakukan tepat waktu, pekerjaan sopir dan kernet jadi lebih efisien. Persoalan sampah ini tanggung jawab bersama,” ujarnya, Jumat (31/10/2025).
DLH menetapkan jadwal pengangkutan dua kali sehari, pukul 07.00 WIB dan 14.00 WIB. Warga diimbau menyesuaikan waktu pembuangan agar tidak terjadi penumpukan.
“Kalau dibuang di luar waktu itu, sampah akan menumpuk bahkan berserakan ke jalan. Belum lagi pemulung sering mengobrak-abrik tumpukan,” tambahnya.
Saat ini terdapat 477 TPS di Pematangsiantar dengan armada pengangkutan sebanyak 52 unit kendaraan—16 pikap dan 36 truk. Namun, sejumlah kawasan padat penduduk masih sulit dijangkau karena kondisi jalan sempit.
“Kami minta warga di gang sempit menaruh sampah di TPS terdekat agar bisa terangkut,” katanya.
Perlu Paradigma Baru
Kepala Bidang Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan DLH, Prasizu Minly Harahap, menilai pengelolaan sampah tak cukup dengan menambah armada. Diperlukan perubahan paradigma menuju circular economy yang mendorong daur ulang dan pemanfaatan kembali.
“Kita tak bisa terus mengandalkan sistem kumpul-angkut-buang. Sampah harus dilihat sebagai sumber daya yang bisa diolah jadi energi atau produk baru,” jelasnya.
Menurutnya, kerja sama regional dalam program PSEL adalah langkah strategis jangka panjang untuk mengurangi volume sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sekaligus mendorong penggunaan energi ramah lingkungan.
“Ini sejalan dengan arah kebijakan nasional menuju zero waste city,” ujarnya.
Kesadaran Publik Jadi Penentu
Pengamat lingkungan dari Universitas Simalungun, Ramainim Saragih, menilai tantangan terbesar justru pada perilaku masyarakat.
“Kita masih sering melihat orang membuang sampah sembarangan, bahkan di depan rumahnya sendiri. Artinya, kesadaran ekologis belum tumbuh,” katanya.
Ia menekankan, Pemko perlu menyeimbangkan pendekatan teknis dengan edukasi sosial. Tanpa kesadaran kolektif, program secanggih apa pun sulit berhasil.
“Kalau mau PSEL efektif, masyarakat harus paham pentingnya waktu pembuangan dan pemilahan sampah. Edukasi harus dilakukan terus-menerus, bukan hanya imbauan,” tegasnya.
Kunci di Tangan Warga
Rencana besar mengubah sampah menjadi energi listrik terdengar ambisius. Namun, langkah sederhana seperti membuang sampah tepat waktu justru menjadi fondasi utama.
“Kami bisa bekerja seharian penuh, tapi kalau warga tidak disiplin, hasilnya tetap sama. Ini soal kebiasaan, bukan hanya peraturan,” tutup Manotar.
Dengan dukungan lintas daerah dan perubahan perilaku masyarakat, Pematangsiantar diharapkan mampu menjadi kota yang tidak hanya bersih, tetapi juga berenergi—baik secara fisik maupun semangat.(Putra Purba)






