Aksi unjuk rasa dua malam di Eks Gedung IV Pasar Horas Pematangsiantar berujung ricuh. Sebagian pedagang menolak relokasi karena janji pembangunan pasar permanen belum terealisasi.
Pematangsiantar|Simantab – Dua malam berturut-turut, 29 hingga 30 September 2025, suasana di sekitar Eks Gedung IV Pasar Horas, Kota Pematangsiantar, memanas. Api dari ban bekas yang dibakar massa membara di jalanan, suara orasi menggema, sementara spanduk berisi tuntutan pedagang berkibar di tengah kerumunan.
Rencana perobohan gedung yang terbakarl tahun lalu serta relokasi pedagang ke lapak sementara, yang berlangsung mulai 29 September hingga 2 Oktober 2025, memicu dinamika baru.
Di satu sisi, mayoritas pedagang menyatakan siap direlokasi. Namun di sisi lain, sekelompok pedagang bersama mahasiswa memilih menolak.

Suara Protes dan Janji yang Belum Terpenuhi
Komunitas Pedagang Pasar Horas (KP2H) Gedung IV bersama Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) Cabang Siantar-Simalungun menggelar aksi blokade jalan. Ketua KP2H, Agus Butarbutar, menegaskan mereka menolak pindah jika tidak ada kepastian pembangunan pasar permanen.
“Kalau tidak ada kepastian pembangunan, kami tetap menutup jalan. Kami akan bertahan bersama masyarakat dan mahasiswa,” ujarnya, Selasa (30/9/2025).
Janji pembangunan dengan dana Rp77 miliar dari Gubernur Sumatera Utara Bobby Nasution menjadi sorotan. Pedagang menyebut janji itu tak kunjung terealisasi.
“Kami akan bertahan di sini sampai ada kepastian, bukan sekadar janji,” tambah Agus.
Kekhawatiran pedagang bukan hanya soal janji yang tak terpenuhi. Pimpinan aksi, Gideon Surbakti, menyoroti soal keamanan.
Menurutnya, pedagang sudah terbiasa kehilangan barang di malam hari, bahkan harus iuran Rp5.000 untuk menjaga kios. Pedagang lanjut usia juga merasa kesulitan memindahkan barang dagangan mereka.
“Aksi semalam spontan untuk membantu para pedagang. Karena itu, setiap hari akan berlanjut juga selama pelaksanaan relokasi,” ungkapnya.
Mayoritas Memilih Pindah
Meski suara penolakan keras terdengar, data menunjukkan mayoritas pedagang memilih opsi realistis: pindah.
Ketua DPD Persaudaraan Pedagang Pasar Bersatu (P3B), Nobel Marpaung, menyebut 265 dari total 271 pedagang sudah sepakat direlokasi ke area bawah Jalan Merdeka.
“Banyak pedagang sudah membeli bahan untuk kios pengganti. Lapak lama sudah tidak bisa dipakai lagi,” katanya.
Menurut Nobel, relokasi adalah pilihan sulit tetapi masuk akal. Setelah kebakaran hebat, gedung dianggap tidak lagi layak.
“Bagaimana mungkin kita terus berjualan di gedung yang rusak parah dan rawan roboh? Keselamatan harus jadi pertimbangan utama,” tegasnya.
Namun ia juga mengakui keresahan pedagang yang menolak adalah hal wajar. Ia menilai janji pembangunan yang tak kunjung terealisasi menimbulkan trauma dan ketidakpercayaan.
“Relokasi memang langkah cepat, tetapi pemerintah juga harus menuntaskan janji pasar permanen,” ujarnya.
Relokasi atau Sekadar Pemindahan Masalah?
Dinamika di Pasar Horas mencerminkan tarik-menarik kepentingan. Bagi pemerintah, relokasi adalah jawaban untuk mencegah risiko ambruknya gedung. Bagi sebagian pedagang, relokasi hanyalah memindahkan masalah lama ke tempat baru.
Agus Butarbutar menilai suara minoritas pedagang yang bertahan tidak boleh diabaikan.
“Tanpa kepercayaan yang dibangun lewat janji yang ditepati, relokasi hanya melahirkan kepatuhan semu,” ucapnya.
Suara kritis inilah yang membuat aksi massa tetap berlangsung, meskipun jumlah pedagang yang menolak jauh lebih sedikit dibanding yang setuju.
Janji Fasilitas Relokasi
Direktur Utama PD Pasar Horas Jaya (PHJ), Bolmen Silalahi, memastikan pemerintah melengkapi kebutuhan pedagang di lokasi baru.
“Seluruh fasilitas akan segera dilengkapi. Itu sudah ditegaskan bersama Sekda,” ujarnya melalui pesan singkat, Selasa (30/9/2025).
Namun di lapangan, keresahan tetap nyata. Sebagian pedagang merasa kepastian itu hanya sebatas kata-kata.
Menurut Gideon, kondisi ini menunjukkan tarik-menarik kepentingan antara pedagang yang menuntut kepastian pembangunan pasar permanen dan pemerintah yang fokus pada relokasi demi alasan keamanan.
“Bagi sebagian pedagang, relokasi adalah langkah realistis setelah gedung terbakar hebat. Namun bagi yang lain, janji pembangunan yang belum ditepati masih menjadi luka lama yang terus dipersoalkan,” tegasnya.
Ia menambahkan, aksi protes diprediksi masih akan berlanjut selama masa relokasi.
“Walaupun sebagian besar pedagang mulai bersiap menempati lapak baru, sebagian lainnya memilih bertahan dengan tuntutan: kepastian, bukan sekadar janji,” pungkas Gideon.
Antara Kepastian dan Kepercayaan
Kondisi Pasar Horas akhir-akhir ini menunjukkan dilema klasik: antara kebutuhan praktis untuk segera pindah dan kebutuhan jangka panjang berupa janji pembangunan pasar permanen.
Mayoritas pedagang mungkin sudah menempuh jalan realistis, menerima relokasi, dan mulai membangun kios baru. Namun minoritas yang menolak menjadi pengingat: tanpa kepastian pembangunan, relokasi berisiko menjadi sekadar pemindahan masalah. Aksi protes diprediksi masih akan berlanjut hingga pemerintah memberi jawaban konkret.(Ronal Sibuea)