
Dugaan pembiaran, aliran dana rekanan, dan buruknya pengawasan aset LPJU mencuat di Dinas PKP Pematangsiantar. Pakar hukum menilai kasus ini perlu audit dan investigasi lintas lembaga.
Pematangsiantar|Simantab – Polemik tata kelola lampu penerangan jalan umum (LPJU) di Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) Kota Pematangsiantar kian menyeruak. Di balik gelapnya sejumlah ruas jalan, muncul dugaan praktik pembiaran, lemahnya pengawasan, hingga indikasi aliran dana dari pihak rekanan kepada seorang pejabat di dinas tersebut.
Kasus ini bermula dari laporan masyarakat yang disampaikan LSM DPP KOMPI B terkait kerusakan tiang, lampu, hingga panel LPJU. Namun dalam proses penelusuran, muncul dugaan lain yang lebih serius: adanya transfer uang dari pihak rekanan kepada pejabat berinisial SN, yang ketika itu menjabat sebagai pejabat pembuat komitmen untuk proyek taman. Dugaan tersebut disebut diketahui oleh kepala dinas, namun tidak ditindaklanjuti.
Kuasa hukum Juang Sijabat, Sepriandison Saragih, menilai penanganan laporan ini penuh kejanggalan. Ia menegaskan bahwa masalahnya bukan sekadar soal kerusakan tiang atau lampu yang tidak menyala, tetapi adanya indikasi pelanggaran hukum yang dibiarkan begitu saja.
“Kepala dinas sudah mengetahui adanya transfer dari rekanan, tetapi memilih diam. Diam dalam konteks ini dapat dimaknai sebagai turut serta karena tidak menjalankan kewajiban pengawasan,” ujarnya tegas, Rabu (12/11/2025).
Menurutnya, sikap pasif seperti itu merusak sistem kontrol internal pemerintah daerah dan menimbulkan preseden buruk dalam birokrasi. Ia menilai pembiaran dapat memperkuat kultur permisif dalam pengelolaan anggaran publik.
Ketika dikonfirmasi terpisah, Kepala Dinas PKP menampik mengetahui laporan maupun hasil pemeriksaan inspektorat. “Saya tidak tahu soal itu,” ujarnya singkat, Kamis (13/11/2025). Ia tidak memberikan penjelasan tambahan mengenai progres penanganan internal atau koordinasi dengan inspektorat. Respons minim tersebut memunculkan dugaan adanya hal-hal yang belum terbuka ke publik.
Di sisi lain, Ketua DPP KOMPI B, Henderson Silalahi, menyoroti persoalan yang lebih luas: lemahnya data aset, pengawasan, dan pemeliharaan LPJU. Ia menyebut banyak tiang tanpa lampu, kabel hilang, dan panel rusak meski anggaran pajak penerangan jalan (PPJ) mencapai sekitar Rp9 miliar per tahun.
“Dengan dana sebesar itu, Siantar seharusnya jauh lebih terang. Yang terjadi malah sebaliknya,” ungkapnya.
Ia menambahkan, kondisi lapangan memperlihatkan ironi: tiga dari empat armada perawatan lampu jalan rusak total. Sementara itu, tagihan listrik LPJU justru tetap dibayar hingga sekitar Rp1,2 miliar per bulan.
“Masyarakat membayar listrik untuk lampu yang banyak tidak menyala. Perawatan hampir lumpuh, tapi alasan kekurangan anggaran terus diulang. Padahal dana PPJ besar,” ujarnya.
Praktisi hukum Sumatera Utara, Edi Yunara, melihat persoalan ini harus dibedah dari dua sisi: administratif dan pidana. Menurutnya, sikap diam seorang pejabat terhadap dugaan pelanggaran dapat dikategorikan sebagai kelalaian jabatan dan pelanggaran etik.
“Dalam hukum administrasi, setiap pejabat wajib bertindak preventif terhadap potensi pelanggaran. Jika mengetahui pelanggaran tetapi tidak menindaklanjuti, maka secara moral dan hukum ia gagal menjalankan fungsi pengawasan,” jelasnya, Kamis (13/11/2025).
Namun untuk membawa persoalan ini ke ranah pidana, diperlukan bukti kuat tentang adanya unsur kesengajaan atau keuntungan pribadi. Ia menegaskan perlunya pemeriksaan lintas lembaga.
“Kasus ini tidak cukup diserahkan pada inspektorat daerah. Risiko konflik kepentingan besar. Idealnya BPK dan aparat penegak hukum turun untuk audit forensik dana PPJ dan proyek LPJU,” ujarnya.
Edi menilai inti persoalan ini bukan semata soal dugaan transfer dana, tetapi kegagalan tata kelola publik. “Begitu transparansi aset, audit anggaran, dan pengawasan internal melemah, kegelapan tidak hanya terjadi di jalanan, tetapi dalam integritas pemerintah,” tandasnya.(Putra Purba)






