Penebangan massal pohon mahoni di Jalan Asahan Simalungun menuai sorotan. Tanpa kejelasan izin, publik mengaitkan hilangnya pohon dengan meningkatnya risiko bencana alam di Sumatera.
Simalungun|Simantab – Penebangan massal pohon mahoni di sepanjang Jalan Asahan, Kecamatan Siantar, Kabupaten Simalungun, memantik keprihatinan publik. Ruas ini merupakan jalan provinsi penghubung Pematangsiantar – Perdagangan. Puluhan batang mahoni yang telah ditebang terlihat berserakan di sisi jalan, dipotong sepanjang 2 hingga 3 meter, sebagian bahkan lebih pendek.
Di tengah meningkatnya ancaman bencana alam di Sumatera, peristiwa ini memunculkan tanda tanya besar. Apalagi, penjelasan antarinstansi soal kewenangan, izin, dan pengawasan justru saling beririsan tanpa kejelasan.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Simalungun, Daniel Halomoan Silalahi, menegaskan pihaknya tidak pernah mengeluarkan rekomendasi penebangan pohon di lokasi tersebut. Ia menyebut, awalnya ada permohonan dari pihak kecamatan terkait kondisi pohon di bahu jalan provinsi, yang kemudian dibahas dalam rapat teknis lintas sektor.

“Kalau dari kami tidak ada rekomendasi penebangan. Yang disarankan hanya perantingan atau pemangkasan,” ujar Daniel, Selasa (16/12/2025).
Menurutnya, pemangkasan dimaksudkan untuk keselamatan pengguna jalan, seperti ranting yang menghalangi pandangan atau sudah lapuk dan berpotensi tumbang, terutama saat musim hujan. Ia menekankan, penebangan pohon hidup di bahu jalan provinsi harus melalui izin ketat dan menjadi kewenangan instansi provinsi.
“Kalau penebangan, itu harus ada izin. Dan izinnya bukan dari kami,” tegasnya.
Daniel mengaku terkejut melihat kondisi lapangan. Pohon yang semula disebut hanya perlu dipangkas justru ditebang habis. Ia menilai hal ini berisiko menimbulkan dampak ekologis jangka panjang. Pohon-pohon mahoni tersebut diperkirakan telah berusia 30 hingga 40 tahun.
“Menanam ulang bukan perkara mudah. Kita bicara puluhan tahun untuk mengembalikan fungsi ekologis yang sama,” katanya. Dalam konteks meningkatnya banjir dan longsor di berbagai wilayah Sumatera, ia menilai penebangan justru langkah kontraproduktif.
DLH Simalungun berencana berkoordinasi dengan pihak provinsi untuk memastikan dasar penebangan, termasuk kewajiban penanaman kembali dan kejelasan pengelolaan kayu hasil tebangan. Hingga kini, hal tersebut belum terlihat.
Sementara itu, Kepala UPTD Kesatuan Pengelolaan Hutan Wilayah II Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Sumatera Utara, Elvin Situngkir, menyatakan pihaknya tidak pernah mengeluarkan izin atau pemberitahuan penebangan pohon mahoni di lokasi tersebut.
“Saya sudah cek ke kantor. Surat masuk tentang itu tidak ada,” ujarnya, Selasa (16/12/2025).
Ia menjelaskan, DLHK Provinsi Sumatera Utara telah menerbitkan surat resmi tertanggal 6 November 2025 sebagai jawaban atas pengaduan masyarakat. Dalam surat itu ditegaskan bahwa bahu jalan provinsi berada dalam hak pengelolaan Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Provinsi Sumatera Utara.
Pohon mahoni dikategorikan sebagai kayu budidaya dari Hutan Hak, bukan kawasan hutan negara. Berdasarkan aturan yang berlaku, pemanfaatannya tidak memerlukan izin kehutanan, selama ada bukti hak atas tanah. Namun, aspek administrasi pengangkutan kayu tetap harus dipenuhi.
Meski demikian, Elvin memastikan pihaknya akan berkoordinasi dengan instansi terkait untuk menelusuri proses penebangan. Jika ditemukan pelanggaran, langkah sesuai ketentuan akan diambil.
Perbedaan pernyataan ini kembali menegaskan rapuhnya koordinasi pengelolaan ruang hijau. Di saat Sumatera berulang kali dihantam banjir dan longsor, penebangan pohon di jalur vital seolah menjadi ironi yang terus berulang.(Putra Purba)






