
Job Fair Kota Pematangsiantar 2025 dipadati ribuan pencari kerja. Antrean panjang dan minimnya kepastian kerja menegaskan sulitnya mencari pekerjaan di tengah keterbatasan lapangan kerja.
Pematangsiantar|Simantab – Membludaknya pencari kerja dalam pelaksanaan Job Fair Kota Pematangsiantar 2025 kembali menegaskan realitas pahit dunia ketenagakerjaan lokal. Bursa kerja yang digelar pemerintah kerap dipromosikan sebagai solusi pengangguran, namun di lapangan justru memperlihatkan jurang lebar antara jumlah pencari kerja dan ketersediaan lapangan pekerjaan.
Ribuan pencari kerja memadati Job Fair yang diselenggarakan Pemerintah Kota Pematangsiantar melalui Dinas Tenaga Kerja pada November 2025. Antusiasme tinggi itu menjadi cermin bahwa kebutuhan akan pekerjaan jauh lebih besar dibanding peluang yang tersedia. Job fair pun kembali menjadi etalase harapan, meski efektivitasnya terus dipertanyakan.
Kepala Dinas Tenaga Kerja Kota Pematangsiantar, Robert Samosir, mencatat jumlah pelamar mencapai 1.623 orang dengan partisipasi 35 perusahaan dari berbagai sektor. Namun hingga pertengahan Desember, hasil akhir penerimaan tenaga kerja belum dapat diumumkan.
“Penerimaan belum bisa kami informasikan karena masih ada tahapan seleksi lanjutan yang menjadi kewenangan masing-masing perusahaan. Jika sudah ada kepastian, tentu akan kami publikasikan,” ujarnya, Senin (15/12/2025).
Ia menjelaskan, peran Dinas Tenaga Kerja dalam job fair sebatas fasilitator yang mempertemukan pencari kerja dan perusahaan. Seluruh proses seleksi, mulai dari administrasi hingga wawancara dan tes lanjutan, sepenuhnya menjadi kewenangan perusahaan.
“Terkait upah, sudah mengacu pada upah minimum. Soal BPJS Ketenagakerjaan dan Kesehatan juga sudah ada aturan yang mengikat,” katanya.
Meski demikian, ia mengakui job fair bukan solusi tunggal menekan pengangguran. Menurutnya, kesiapan lulusan menjadi faktor penting yang harus dibangun sejak dini.
“Mindset harus diubah. Tidak cukup hanya lulus, tapi harus siap kerja, punya soft skill, keterampilan, dan penguasaan ilmu. Ini harus dimulai sejak SMA, SMK, hingga perguruan tinggi,” tegasnya.
Dari sisi perusahaan, Area Sales Manager Wifi MyRepublic Pematangsiantar, Rizal Refalino, menyebut booth perusahaannya diserbu pencari kerja. Namun antusiasme tinggi tidak selalu berbanding lurus dengan kesiapan pelamar.
“Yang bertanya banyak, tapi yang benar-benar mendaftar lewat sistem lebih sedikit. Banyak yang belum siap, mungkin masih melengkapi CV atau masih ragu,” ujarnya, Senin (15/12/2025).
Menurutnya, job fair tetap memberi dampak positif, tetapi kesenjangan kualitas pelamar masih terasa. Tidak sedikit yang lolos administrasi, namun belum memenuhi ekspektasi saat wawancara.
“Kami sering buka rekrutmen lagi karena standar yang dibutuhkan belum sepenuhnya terpenuhi,” katanya.
Bagi pencari kerja seperti Edward Aritonang (26), job fair belum memberi titik terang. Lulusan Fakultas Ekonomi Universitas Nomensen tahun 2023 ini telah lebih dari dua tahun mencari pekerjaan pertamanya.
“Kalau dilihat dari rasio yang dipanggil dan tidak, menurut saya job fair kurang efektif,” ujarnya.
Ia mengaku masih mengandalkan platform daring untuk melamar kerja, meski respons perusahaan sangat minim. Persaingan ketat dan kualifikasi yang terus meningkat membuat peluang semakin sempit.
Pengamat ekonomi Universitas Sumatera Utara, Wahyu Ario Pratomo, menilai membludaknya pencari kerja di job fair Pematangsiantar merupakan cerminan persoalan struktural ketenagakerjaan.
“Yang terlihat di job fair itu hanya gejalanya. Akar masalahnya adalah ketidakseimbangan antara pertumbuhan angkatan kerja dan penciptaan lapangan kerja berkualitas,” ujarnya.
Menurutnya, tanpa indikator penyerapan yang jelas, job fair berpotensi menjadi kegiatan seremonial yang menciptakan ilusi solusi. Tanpa industrialisasi lokal, penguatan UMKM, dan kesesuaian pendidikan dengan kebutuhan industri, job fair hanya akan memindahkan antrean pengangguran dari satu titik ke titik lain.(Putra Purba)






