Kupang – Dua anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) di Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT) menganiaya seorang bocah berusia 13 tahun. Bocah bernama PS tersebut kini dirawat di sebuah rumah sakit.
Terduga pelaku berdinas di wilayah Kodim 1627 Rote Ndao, NTT. Serma MSB bertugas sebagai Babinsa di Koramil 1627/03-Batutua dan Serka AODK staf di Binpers Kodim 1627 Rote Ndao.
Motif penganiayaan seperti dilansir dari CNN Indonesia, Senin (23/8/2021), PS dituduh mencuri telepon seluler (ponsel).
Ibu Korban, Ati Seuk-Hanas saat mendampingi PS di ruang perawatan RSUD Ba’a pada Sabtu (21/8/2021) sore, menceritakan penyiksaan putranya oleh dua oknum anggota TNI.
Menurut Ati, anaknya disiksa Serka AODK dan Serma MSB dengan cara tubuhnya disundut api rokok yang menyala. “Mereka bakar dengan api rokok 15 batang,” kata Ati.
Lebih jauh PS dipukuli menggunakan bambu di kedua tangannya dan tindakan kekerasan pada bagian kemaluannya.
“Abis (setelah itu) dong (para tersangka) campur odol, lilin baru bakar ini anak (korban) punya kemaluan. Campur lilin dan odol dan petek (pemantik) baru mereka bakar (di kemaluan)”, katanya.
PS membenarkan penuturan sang ibu. Dia mengalami penyiksaan oleh dua anggota TNI Kodim 1627 Rote Ndao Serka AODK dan Serma MSB di rumah Serma MSB.
“(Kedua Anggota TNI) Bakar pakai lilin, itu pak tentara (yang membakar), (bakar) satu kali,” katanya.
Ayah PS, Joni Seuk, menyebut anaknya yang masih duduk di bangku kelas IV SD itu dijemput Serka AODK dan Serma MSB di rumahnya sejak Kamis (19/8/2021) malam pukul 19.00 WITA.
PS dibawa ke rumah Serma MSB di Kelurahan Metina dan baru dipulangkan Kamis tengah malam.
Keesokan harinya pada Jumat (20/8/2021) saat PS bermain di Pantai Ba’a, kembali didatangi Serka AODK untuk diinterogasi. Tetapi kejadian tersebut tidak diceritakan PS kepada kedua orangtuanya.
Pada Jumat malam sekitar pukul 19.00 WITA, Serka AODK bersama beberapa orang lainnya kembali mendatangi rumah mereka untuk menjemput PS. “Saat itu PS ketakutan dan bersembunyi dalam lemari di kamarnya,” kata Joni.
Serka AODK menemukan PS bersembunyi lalu sempat menganiaya PS di kamar hingga mulutnya berdarah.
Joni dan istrinya menyaksikan penyiksaan itu, dan mereka tak bisa berbuat apa-apa ketika PS kembali dibawa.
Sabtu dini hari, lanjut Ati, PS diantar Serma MSB dan Serka AODK ke rumahnya dalam keadaan telanjang.
Saat diantarkan tersebut, Serka AODK memaksa PS menunjukkan tempat menyembunyikan telepon seluler yang dituduhkan telah dicuri itu.
Tapi, saat itu PS kebingungan dan itu memancing amarah Serka AODK yang kemudian menganiaya PS di depan kedua orangtuanya.
“Anak kami terpaksa mengaku bahwa dia yang ambil handphone karena sudah tidak tahan dengan penganiayaan itu. Sampai di rumah anak kami bingung mau ambil handphone di mana, karena bukan dia yang ambil,” tutur Ati. “Lalu mereka bawa dia (korban) lagi ke rumah MSB.”
Sabtu (21/8/2021) pagi sekitar pukul 09.00 WITA barulah PS dipulangkan dua orang kerabat Serka AODK.
Dan, sesampai di rumah PS langsung pingsan sehingga dilarikan ke RSUD Ba’a untuk mendapat pertolongan medis.
Pelanggaran terhadap pasal pelarangan kekerasan terhadap anak tersebut juga diancam dengan sanksi pidana sebagaimana diatur Pasal 80
Dua prajurit TNI aniaya anak NTT itu kini dikabarkan sudah ditahan. Danrem 161 Wirasakti Kupang, Brigjen TNI Legowo WR Jatmiko menegaskan akan menindak tegas kedua oknum anggota tersebut.
Walaupun proses adat dan seluruh biaya perawatan korban ditanggung pihak Kodim 1627 Rote Ndao, tapi proses hukum tetap dilaksanakan.
Ditindak Secara Pidana
Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Iftitahsari dalam keterangan tertulis mendesak proses pidana dilakukan terhadap dua anggota TNI yang menganiaya PS.
Dalam proses penegakan hukum kasus ini, ICJR juga menekankan supaya perlu ada prioritas perlindungan terhadap korban anak dan keluarganya dalam menjalani pemulihan.
ICJR kata Iftitahsari, mengapresiasi langkah Danrem 161 Wirasakti Kupang Brigjen TNI Legowo WR Jatmiko yang berjanji menindak dua anak buahnya.
Diterangkannya, rangkaian perbuatan yang dilakukan kedua prajurit TNI masuk dalam kategori penyiksaan yang wajib dijatuhi sanksi pidana menurut Konvensi Anti Penyiksaan yang telah diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998.
Pasal 4 dan Pasal 12 Konvensi Anti Penyiksaan memerintahkan negara untuk segera mengambil tindakan tegas terhadap pelaku penyiksaan dengan melakukan proses penegakan hukum berdasarkan hukum pidana.
Terlebih, perbuatan penyiksaan tersebut dilakukan terhadap anak yang seharusnya wajib mendapat perlindungan dari kekerasan.
Kewajiban ini tercantum dalam Pasal 28B Undang-Undang Dasar 1945, “Setiap anak berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.
Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 23 tahun 2002 sebagaimana diubah Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 juga secara tegas mengatur larangan kekerasan terhadap anak, khususnya dalam Pasal 76C sebagai berikut, “Setiap Orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan Kekerasan terhadap Anak”.
“Pelanggaran terhadap pasal pelarangan kekerasan terhadap anak tersebut juga diancam dengan sanksi pidana sebagaimana diatur Pasal 80,” kata dia mengingatkan.
Selain mengusut tuntas melalui proses penegakan hukum, ICJR menekankan agar negara juga dapat hadir untuk memprioritaskan perlindungan terhadap korban anak dan keluarganya.
Negara melalui lembaga terkait seperti LPSK dan KPPPA perlu memberikan perhatian khusus terhadap proses pemulihan bagi korban anak dan keluarganya yang mengalami trauma terhadap kejadian penyiksaan tersebut.[]