Oleh : Dr. Hinca IP Pandjaitan, SH, M.ACCS
“Kita sudah membunuh dengan sangat kejam”
Harapan saya kepada Erick Thohir untuk menjadi Aguero, tampaknya sirna. Kepergian dirinya menyambangi FIFA tidak membuahkan gol. Pupus sudah kesempatan Indonesia Raya berkumandang dalam pagelaran Piala Dunia U-20. Memang benar, merawat harapan tak segampang menanam dan membunuhnya. Kita sudah membunuh sejarah dengan sangat kejam.
Kesempatan yang mungkin sulit dapat kita ulang dalam beberapa tahun ke depan. Terlebih, negara ini akan mendapatkan label baru sebagai “negara yang pernah gagal”. Malu, pahit.
FIFA secara resmi membatalkan Indonesia sebagai tuan Piala Dunia U-20, dan akan
membangun komunikasi dengan Federasi Sepakbola Paraguay serta Argentina untuk
menentukan tuan rumah pengganti. Jelas ini adalah kekalahan telak yang memilukan.
Impian garuda muda yang sudah berjuang keras mempersiapkan diri membela merah putih di ajang Piala Dunia kini sudah sirna. Hari ini kita tidak hanya kalah, tetapi juga hampir dapat dipastikan Indonesia tersingkir dari kancah sepakbola dunia.
Bukan tidak mungkin, FIFA akan kembali
menjatuhkan Sanksi kepada PSSI dalam waktu dekat. Kalau sudah seperti ini siapa yang akan bertanggung jawab? Ini adalah peristiwa paling buruk dan memalukan bagi Sepakbola Indonesia. Pembatalan ini merupakan buntut dari ketidakmampuan pengurus PSSI untuk meyakinkan FIFA bahwa kita sanggup untuk menjadi tuan rumah yang baik bagi pentas dunia.
Menurut pengamatan saya, isu penolakan Timnas Israel sejatinya bukan menjadi soal utama dalam kasus ini, melainkan hanya pemicu yang semakin membulatkan keputusan FIFA untuk mencabut status Indonesia sebagai Tuan Rumah Piala Dunia U-20.
Alasan utama yang perlu kita kejar bersama adalah bagaimana pengurus PSSI dan juga pemerintah dalam menyelesaikan tragedi Kanjuruhan. Pihak domestik saja masih banyak yang tidak puas melihat bagaimana PSSI serta penegak hukum memberikan rasa keadilan terhadap 135 korban jiwa yang meninggal pada tragedi Kanjuruhan. FIFA tentu melihat keresahan di dalam negeri tersebut dan mempertanyakan keamanan bagi setiap fans peserta Piala Dunia U-20 yang akan datang ke Indonesia.
Kerugian yang terjadi akibat dari pembatalan Piala Dunia U-20 pun bukan main-main dampak kerusakannya. Saya tidak sepakat dengan Plt. Kemenpora yang seakan menyepelekan dampak yang terjadi. Pertama, pemerintah secara resmi telah menggangarkan Rp. 500 Miliar untuk persiapan Piala Dunia U-20.
Selain itu, melalui Kementerian PUPR telah menyuntikan dana sebesar Rp. 314 Miliar untuk merenovasi stadion-stadion yang dipersiapkan sebagai Venue pertandingan. Artinya, APBN yang bersumber dari pajak rakyat akan berakhir sia-sia karena Piala Dunia U-20 lantas bagaimana pertanggungjawaban penggunaan anggarannya?
Kedua, pembatalan ini akan menjadi preseden buruk bagi Indonesia ke depan dalam ajang Sepakbola atau olahraga. Dunia olahraga akan menilai Indonesia tidak akan mampu untuk menghelat ajang akbar olahraga Internasional. Dan bukan tidak mungkin harapan Presiden Jokowi untuk mengajukan bidding sebagai Tuan Rumah Olimpiade 2036 di Ibu Kota Nusantara
akan sirna.
Terakhir, Sepakbola Indonesia bisa saja kembali mati suri. Kita akan kembali disanksi dan dikucilkan dari seluruh kegiatan sepakbola Internasional. Harapan para pemain sepakbola utamanya U-20 tentu sudah pudar, apakah harapan kita untuk melihat Indonesia kembali mentas di Piala Asia juga akan sirna ? kita berharap tidak.
Cukup lama sudah sepakbola Indonesia berjalan di atas realitas yang memilukan. Alihalih menjadi sebagai olahraga tradisi yang kemudian ingin dikembangkan menjadi industri, justru hari ini kita hanya terus mengulang tragedi dan terbiasa membunuh banyak mimpi.
Pasca terpilihnya saudara Erick Thohir sebagai Ketua Umum PSSI, publik mengganti lensa skeptisme menjadi optimisme. Sayangnya, misi pertama sang pembawa harapan itu untuk “membujuk” FIFA tidak menuai hasil, mission failed.
Saya tidak sepakat dengan pesan Erick Thohir untuk menghadapi pembatalan Piala Dunia U-20 dengan kepala tegak. Justru sebaliknya kita harus menundukan kepala serendah mungkin. Sepakbola kita selalu tertidur, bahkan untuk bermimpi saja tidak bisa.
Kita harus menanggapi ini dengan serius, kita dorong transparansi kepada PSSI perihal apa yang sebenarnya terjadi. Harus ada evaluasi secara menyeluruh karena ini adalah sebuah kegagalan total. Jika perlu, Erick Thohir perlu tampil sebagai Ksatria yang mengakui kegagalannya, yakni dengan cara mengundurkan diri sebagai Ketua Umum PSSI