
Indonesia mencatat angka kematian ibu tertinggi ketiga di Asia Tenggara. POGI mengungkap penyebab utama AKI, termasuk eklamsia, perdarahan, infeksi, dan maraknya pernikahan dini. Pemerintah menargetkan penurunan AKI melalui RPJMN 2025–2029.
Jakarta|Simantab – Indonesia masih menghadapi tantangan besar dalam menurunkan angka kematian ibu (AKI). Ketua Umum gasdgaPerkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI), Budi Wiweko, menyebut AKI Indonesia kini menjadi yang tertinggi ketiga di Asia Tenggara, mencapai 189 kematian per 100 ribu kelahiran.
Data tahun 2022 menunjukkan sekitar 3.500 ibu meninggal akibat komplikasi kehamilan dan persalinan. Dari jumlah tersebut, 22,4 persen disebabkan eklamsia, 20,9 persen akibat perdarahan, dan 4,9 persen dipicu infeksi. Angka ini menggambarkan beban kesehatan perempuan yang masih mengkhawatirkan.
“Indonesia kini berada di fase krusial. Meskipun ada kemajuan, rata-rata 22 ibu meninggal setiap hari akibat komplikasi kehamilan, persalinan, dan masa nifas,” kata Budi di Jakarta Pusat, Rabu (26/11/2025).
Pemerintah menargetkan penurunan AKI menjadi 77 kematian per 100 ribu kelahiran ibu dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025–2029. Namun berbagai faktor mendasar masih perlu dibenahi untuk mencapai target tersebut.
Menurut Budi, tingginya AKI tidak dapat dilepaskan dari faktor sosial dan budaya, salah satunya pernikahan dini. Persentase pernikahan di bawah usia 18 tahun tercatat sekitar 10,03 persen. Sementara angka kelahiran remaja usia 15–19 tahun mencapai 20,49 per 1.000 orang.
Ia menegaskan bahwa pernikahan dini bukan hanya terjadi di pedesaan, tetapi juga di kota besar. Minimnya kesiapan mental dan fisik pada ibu muda menyebabkan tingginya risiko komplikasi kehamilan.
“Anak itu masih lugu, tidak tahu bagaimana menjaga kesehatan dirinya, apalagi merawat kehamilan. Masih ingin bermain, tapi harus membesarkan anak. Itu masalah besar,” ujarnya.
Selain faktor biologis, tekanan sosial, norma budaya, dan lingkungan juga memperberat risiko kesehatan dan psikologis pada ibu muda. Kondisi tersebut pada akhirnya berdampak pada kualitas pengasuhan dan tumbuh kembang anak.
Budi menilai penanganan AKI membutuhkan pendekatan lintas sektor, mulai dari edukasi kesehatan reproduksi, akses layanan kesehatan ibu yang merata, hingga program pencegahan pernikahan dini. Ia menekankan pentingnya intervensi lebih kuat pada kelompok remaja sebagai populasi rentan.
Upaya peningkatan layanan kesehatan ibu tidak hanya bergantung pada fasilitas medis, tetapi juga dukungan sosial yang memadai. Tanpa perbaikan menyeluruh, risiko kematian ibu dikhawatirkan terus meningkat.(*)






