Dua tahun setelah diresmikan, Kampung Tenun Ulos Bah Kapul di Pematangsiantar kini sepi. Program pemberdayaan yang dijanjikan pemerintah tak berjalan, sementara para penenun bertahan di tengah kekecewaan.
Pematangsiantar|Simantab – Di Jalan Aries 1, Kelurahan Bah Kapul, Kecamatan Siantar Sitalasari, berdiri deretan rumah yang sebagian dihuni para penenun ulos. Dua tahun lalu, kawasan ini diresmikan sebagai Kampung Tenun Ulos Siantar dengan janji besar: menjadi pusat pengembangan ulos dan wadah bagi ribuan perajin tradisional. Kini, suasananya justru sunyi, jauh dari semangat pemberdayaan yang dulu dijanjikan.
Peresmian dilakukan oleh wali kota periode 2022–2024 bersama Ketua Dekranasda pada 11 Oktober 2023. Saat itu, pemerintah menargetkan 2.300 perajin bergabung dalam koperasi Ulos Siantar Sejahtera sebagai motor ekonomi baru warga Bah Kapul. Namun, janji itu belum terwujud. Kawasan yang dulu diramaikan dengan alat tenun kini lebih sering tertutup, dan sebagian alat tenun yang dipamerkan saat peresmian mulai berdebu.
Salah satu penenun yang masih bertahan, L Siregar (45), menatap kosong alat tenunnya yang mulai usang. Ia mengaku kecewa karena program kampung tenun berhenti di seremoni.

“Dulu katanya mau dibina, dibuatkan koperasi, dibantu pemasaran. Tapi sampai sekarang tidak ada kabar. Kami tetap bekerja sendiri-sendiri,” ujarnya, Senin (13/10/2025).
Menurut Siregar, tak ada pelatihan baru, pembeli tetap, ataupun fasilitas pendukung. Ia sempat menaruh harapan besar ketika pemerintah datang langsung ke kampung mereka.
“Saya sampai tidak ambil pesanan dari Balige karena mau fokus ke koperasi. Tapi ternyata tidak jelas. Koperasinya saja saya tidak tahu di mana kantornya,” katanya.
Kini, ia menenun secara mandiri dan menjual hasil karyanya lewat media sosial dengan bantuan anaknya.
“Kalau cuma mau foto-foto waktu peresmian, kami sudah capek. Kami butuh pendampingan dan pelatihan, bukan janji,” tegasnya.
Baginya, ulos bukan sekadar kain, melainkan warisan yang harus dijaga. Ia berharap kampung mereka benar-benar dijadikan pusat budaya hidup, bukan sekadar papan nama.
“Kami ini penerus ulos Siantar. Tapi kalau tidak ada yang bantu, nanti tinggal sejarah. Anak muda sudah banyak pindah kerja ke luar kota,” ujarnya.
Penenun lain, Rosa Simanungkalit (37), juga menyayangkan lambatnya tindak lanjut program. Ia menilai pemerintah terlalu cepat memberi label “kampung wisata” tanpa menyiapkan dasar yang kuat.
“Kalau memang mau jadi kampung wisata, mana wisatawannya? Kami saja tidak tahu siapa pengelolanya. Semua masih kerja di rumah masing-masing,” katanya.
Rosa menambahkan, para penenun sempat diminta bergabung ke koperasi, tetapi belum pernah melihat pengurus atau kegiatan nyata. “Kami hanya dengar namanya, tapi tidak pernah ada sosialisasi,” tambahnya.
Kepala Bidang Pariwisata Dinas Pemuda, Olahraga, Budaya, dan Pariwisata Pematangsiantar, Harpenas Hutagalung, mengakui bahwa program Kampung Tenun Ulos belum berjalan optimal karena keterbatasan anggaran dan koordinasi.
“Kami akui, program ini belum sesuai rencana. Ada kendala pada pembiayaan dan perubahan struktur organisasi,” jelasnya.
Ia menyebut pihaknya sedang menyiapkan rencana revitalisasi dengan pelatihan lanjutan dan promosi digital. “Kami akan berkolaborasi dengan Dekranasda dan Dinas Koperasi agar tahun depan Kampung Ulos bisa kembali aktif dan menjadi daya tarik wisata budaya,” ujarnya.
Kini, para penenun Bah Kapul masih bertahan di tengah kesunyian, menenun bukan hanya kain, tapi juga harapan. Potensi kampung ini sebenarnya besar, dengan komunitas penenun aktif dan akses mudah. Namun, tanpa pendampingan dan tata kelola berkelanjutan, label “kampung budaya” hanya akan menjadi slogan di papan nama yang mulai pudar di pinggir Jalan Aries 1.
“Ulos itu hidup kami. Tapi kalau kampung ini dibiarkan begini terus, nanti tinggal sejarahnya saja yang dikenang,” tutup Rosa lirih.(Putra Purba)