Kejati Sumut resmi menerbitkan legal opinion (LO) untuk proyek gedung DPRD Pematangsiantar senilai Rp7 miliar. Pemko kini siap melanjutkan pembangunan dengan pengawasan ketat agar transparan dan akuntabel.
Pematangsiantar|Simantab – Polemik panjang terkait pembangunan gedung baru DPRD Kota Pematangsiantar senilai Rp7 miliar akhirnya menemui titik terang.
Setelah sempat tertunda dan menjadi perdebatan publik, Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Ruang (PUTR) Kota Pematangsiantar resmi menerima salinan legal opinion (LO) dari Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara.
Dokumen tersebut menjadi dasar hukum penting bagi kelanjutan proyek yang sempat dikritik karena dianggap tidak mendesak.

Terbitnya LO menjadi sinyal bahwa secara hukum, Pemko Pematangsiantar kini memiliki pijakan kuat untuk melanjutkan pembangunan. Namun, Kejati juga menegaskan agar seluruh proses dilaksanakan sesuai ketentuan hukum dan prinsip akuntabilitas publik.
PUTR Siantar: Siap Jalankan Sesuai Aturan
Kepala Dinas PUTR Kota Pematangsiantar, Sofian Purba, memastikan instansinya akan bekerja transparan dan hati-hati. Menurutnya, LO Kejati menjadi panduan hukum agar setiap tahapan pembangunan sesuai prosedur.
“Kami menerima LO pada Senin (6/10/2025). Dinas siap mengawasi seluruh proses pembangunan gedung DPRD. Semua langkah dilakukan berdasarkan ketentuan dan hasil kajian hukum dari Kejati Sumut,” ujar Sofian, Selasa (7/10/2025).
Ia menegaskan, dana proyek ini telah dianggarkan dalam APBD 2025 sehingga tidak akan mengganggu program pembangunan lainnya.
“Pengalihan dana tidak bisa sembarangan. Prosesnya panjang, melibatkan revisi anggaran dan persetujuan dari berbagai pihak,” tambahnya.
Sofian menilai keluarnya LO menjadi bentuk kepastian hukum bagi pemerintah maupun pihak kontraktor.
“Dengan dasar ini, pelaksana proyek tidak perlu khawatir akan kesalahan prosedural. Tapi tentu saja pengawasan berlapis tetap kami lakukan,” katanya.
Ia juga menegaskan bahwa proyek publik seperti ini harus menjadi contoh pelaksanaan yang terbuka dan berintegritas.
Pengamat Konstruksi: Jangan Euforia, Tetap Awasi
Pengamat teknik konstruksi, Sakti Sihombing, menilai LO dari Kejati memang penting sebagai rambu hukum, tetapi tidak bisa dijadikan jaminan mutlak.
“LO itu ibarat lampu lalu lintas hukum. Ia memberi arah agar tidak salah jalan, tapi bukan berarti pengemudi bebas melaju tanpa hati-hati,” ujarnya.
Sakti mengingatkan agar pemerintah dan kontraktor tidak euforia. Ia menekankan pentingnya evaluasi desain, audit teknis, dan pengawasan independen.
“Proyek DPRD bukan sekadar bangunan berdiri, tetapi bukti tanggung jawab terhadap anggaran publik dan manfaatnya bagi masyarakat,” katanya.
Ia juga meminta agar Dinas PUTR meninjau ulang seluruh aspek teknis dan administratif sesuai rekomendasi LO.
“Pembangunan yang baik bukan sekadar soal izin, tapi bagaimana bangunan itu berdiri di atas kepercayaan rakyat,” tegasnya.
Aktivis Mahasiswa: Serahkan ke Pemerintah, Jangan Jadi Proyek Elit
Koordinator Aliansi Solidaritas Mahasiswa, Pelajar, dan Masyarakat (ASMPM), Jhon Efendi Nababan, menyambut baik keluarnya LO. Menurutnya, mahasiswa menghormati hasil kajian Kejati dan menyerahkan urusan teknis kepada pemerintah.
“Kalau dasar hukumnya jelas, silakan dilanjutkan. Tapi pemerintah harus transparan. Publik berhak tahu progres dan siapa yang mengerjakan proyek ini,” katanya.
Ia menegaskan, mahasiswa akan terus memantau agar pelaksanaan tidak keluar dari koridor hukum dan kepentingan rakyat.
“Kami tidak menolak pembangunan, tapi menolak jika proyek ini tertutup dan jadi ajang kepentingan segelintir pihak,” ujarnya.
Praktisi Hukum: LO Bukan Imunitas Hukum
Sementara itu, praktisi hukum dari Perkumpulan Pengacara dan Konsultan Hukum Indonesia (PPKHI) Sumut, Boyke Panggabean, menilai LO bersifat nasihat hukum preventif, bukan pembebasan dari tanggung jawab hukum.
“LO tidak mengikat secara yuridis, tapi menjadi panduan agar langkah pemerintah tidak melanggar aturan. Kalau nantinya ada penyimpangan atau korupsi, LO tidak bisa dijadikan tameng,” tegas Boyke.
Ia menuturkan, justru dengan adanya LO, tanggung jawab moral dan hukum pejabat pelaksana semakin besar.
Boyke menilai Pemko kini memiliki dasar hukum kuat untuk melanjutkan pembangunan, tetapi tetap harus memenuhi seluruh rekomendasi Kejati, mulai dari penyesuaian dokumen kontrak, mekanisme lelang, hingga pengawasan real time di lapangan.
“Jika nanti ditemukan penyimpangan prosedur, LO tidak otomatis membebaskan individu atau institusi dari tanggung jawab hukum,” jelasnya.
Ia juga mengingatkan pentingnya komunikasi publik agar masyarakat memahami manfaat proyek ini.
“Pemerintah harus mampu menjelaskan mengapa proyek DPRD perlu diprioritaskan di tengah banyaknya kebutuhan infrastruktur lain. Transparansi menjadi kuncinya,” kata Boyke.
Tantangan ke Depan
Terbitnya legal opinion Kejati Sumut memang membawa angin segar bagi Pemko Pematangsiantar, tetapi juga menghadirkan tanggung jawab besar. Pemerintah harus membuktikan bahwa proyek Rp7 miliar ini bukan sekadar pembangunan fisik, melainkan simbol tata kelola pemerintahan yang transparan dan akuntabel.
“Isu utamanya bukan lagi soal boleh atau tidak membangun, melainkan bagaimana memastikan pembangunan itu efisien, terbuka, dan menjawab kebutuhan publik secara proporsional,” tutup.(Putra Purba)