Jakarta, simantab — Kekeliruan teknis penulisan dalam UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, tak bisa dianggap sepele, dan disederhanakan menjadi persoalan teknis semata .
Pernyataan Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Pratikno yang menyebutkan kekeliruan bersifat teknis administratif sehingga tidak berpengaruh terhadap implementasi UU Cipta Kerja, menurut sejumlah pengamat harus dilihat dalam kacamata besar.
Pernyataan itu berdampak pada kepastian hukum di Indonesia di masa mendatang. Penyederhanaan masalah kekeliruan omnibus law sebagai persoalan teknis administratif justru membuat kepastian hukum di Tanah Air luntur.
Kekeliruan dalam Omnibus Law UU Cipta Kerja, memiliki implikasi hukum dan menunjukkan ada cacat formil dalam proses pembentukannya. Sebut saja, pasal 6 Bab III tentang Peningkatan Ekosistem Investasi dan Kegiatan Berusaha. Pasal itu janggal karena merujuk kepada pasal 5 ayat (1). Padahal tak ada ayat sama sekali di pasal 5. Publik menyebut pasal 6 merujuk ‘pasal gaib’
Selain itu, ada tiga pasal yang merujuk pasal gaib dalam undang-undang itu. Selain pasal 6 tersebut, ada juga pasal 151 di Bab IX Kawasan Ekonomi. Permasalahan pasal ini juga terkait rujukan pasal sebelumnya. Pasal 151 ayat (1) merujuk pasal 141 huruf b yang bahkan tak ada dalam naskah UU itu.
Ahli Hukum Tata Negara Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), Muhammad Fauzan berpendapat kesalahan penulisan ataupun redaksional seperti itu tak dapat dibenarkan dalam perspektif teori perundang-undangan.
“Tidak bisa seperti itu, ini kan menunjukkan ada mekanisme penyusunan yang memang kecermatannya kurang, paling tidak menurut saya,” kata Fauzan saat dihubungi CNNIndonesia.com, Selasa (3/11).
Dia menjelaskan bahwa prinsipnya sebuah produk hukum itu dibentuk untuk memberikan suatu kepastian hukum. Menurut dia, asas kepastian hukum itu tak terlihat dengan kesalahan pada proses pembentukannya.
Apalagi, Presiden Joko Widodo menaruh harapan besar bagi produk hukum sapu jagat itu untuk dapat memberikan kepastian hukum dan menarik bagi kalangan investor.
“Kita tidak bisa membayangkan kalau hukumnya sendiri dibuat tapi tidak bisa memberikan kepastian,” ucap dia.
Istilah Asas kepastian hukum tercantum dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, asas kepastian hukum adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan ketentuan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggaraan pemerintahan.
Lebih lanjut, Fauzan mengatakan sudah jelas bahwa terdapat perubahan substansi apabila terdapat serangkaian pasal rujukan dalam aturan tersebut yang nihil.
“Ketika kesalahan seperti itu tidak kemudian kita harus maklum, sebagai bukti pengakuan bahwa itu kesalahan, ya sudah dibuat lagi. Dicermati lagi,” kata dia.
Halaman pertama UU Cipta Kerja. (Screenshot via web jdih.setneg.go.id)
|
Ada tiga cara yang direkomendasikan oleh Guru Besar Hukum Tata Negara Unsoed itu untuk memperbaiki kecacatan dalam undang-undang. Pertama, pemerintah dan DPR bisa bersepakat untuk membuat perubahan undang-undang yang mana dalam hal ini bertujuan untuk merevisi.
Nantinya, kesepakatan itu dapat dilanjutkan dengan proses sidang di DPR sebagaimana mekanismenya telah diatur selama ini dalam pembuatan UU.
Selain itu, kata dia, pemerintah juga dapat mengeluarkan Peraturan Presiden Pengganti Undang-undang (Perppu) untuk melakukan sejumlah revisi terhadap UU yang telah resmi berlaku. Dalam perjalanannya, dalam penerbitan Perppu ini, Presiden juga dapat mengubah substansi dalam aturan tersebut.
Terakhir, kata Fauzan, masyarakat dapat mendorong pembatalan UU melalui forum uji formil di Mahkamah Konstitusi.
“(Undang-undang) tidak bisa (gugur). Itu kan sudah diundangkan. Bahwa setelah diundangkan ditemukan kesalahan-kesalahan seperti itu, itu maksud saya ya tempuh lah dengan mekanisme peraturan perundang-undangan yang berlaku,” kata dia.
Fauzan menuturkan bahwa dengan temuan pasal-pasal janggal tersebut, maka sangat memungkinkan apabila Hakim Konstitusi membatalkan Undang-Undang sapu jagat itu.
Dia mengingatkan, bahwa Hakim-hakim konstitusi merupakan cerminan dari seorang negarawan yang dapat mengambil keputusan dengan bijak.
“Sangat bisa (UU Dibatalkan MK). Tinggal berani atau tidak,” ucap Fauzan.
Sementara, peneliti KoDe Inisiatif Violla Reininda menuturkan publik dapat menggunakan forum uji formil sebagai salah satu langkah untuk menjegal aturan sapu jagat itu.
Hakim Konstitusi, menurut Violla dapat menjadikan fenomena temuan kelalaian pemerintah dalam pengesahan undang-undang tersebut sebagai salah satu pertimbangan yang cukup menguatkan untuk membatalkan UU itu jika dilihat dari unsur kelengkapan formil.
“Hal-hal yang bersifat di luar materi muatan, teknis pembuatan, penulisan undang-undang, itu semua masuk ke objek pengujian formil,” kata Violla kepada CNNIndonesia.com.
“Ini semakin menguat, karena menunjukkan kalau proses pembuatan UU ini cacat formil dan terlalu tergesa-gesa,” tambah dia lagi.
Menurut Violla, di luar dari pengujian formil pembuatan Undang-undang itu, penelitian terhadap substansi konten aturan juga masih sangat dimungkinkan untuk dilakukan. Dalam hal ini, MK memiliki wewenang apabila terdapat pihak-pihak tertentu yang mengajukan gugatan.
“Kalau hal-hal yang bersikap formil itu, dalam banyak penelitian akan mempengaruhi substansi dari Undang-undangnya sendiri,” ucapnya.
Mantan Hakim Konstitusi, I Dewa Gede Palguna pun mengakui bahwa setiap bentuk kesalahan yang termuat dalam UU 11/2020 itu memang tak dapat diterima lantaran bertentangan dengan prinsip keseksamaan dan kehati-hatian dalam pembentukan hukum.
Dia menegaskan bahwa aturan tersebut nantinya akan menjadi rumit untuk diimplementasikan di negara-negara yang menganut ‘Civil Law’ atau hukum sipil yang sangat bergantung pada penalaran hukum dalam undang-undang.
“Tak perlu menjadi hakim konstitusi untuk menilai dan mengatakan bahwa kelalaian semacam itu adalah keteledoran yang tidak dapat diterima secara politik maupun secara akademik,” kata Palguna.
Jika suatu aturan sudah diundangkan dan diberi nomor, maka tidak ada cara lain untuk memperbaiki naskah tersebut selain melalui proses revisi undang-undang (perubahan) melalui forum resmi antara DPR dan Pemerintah.
Namun demikian, dalam prosesnya, pengujian di Mahkamah Konstitusi masih sangat dimungkinkan karena objek hukum tersebut telah sah secara konstitusi.
Menurutnya, sangat dimungkinkan apabila Hakim Konstitusi saat ini membatalkan aturan tersebut untuk seluruhnya. Meskipun, dalam pandangannya belum ada kasus seperti itu yang terjadi.
Kata dia, salah satu upaya untuk membuktikan kekurangan dalam penyusunan itu kuat di mata hukum hanyalah saat MK berpendapat bahwa pembentukan UU tersebut bertentangan dengan konstitusi yang diatur dalam UUD’45. Meskipun,
“Maka seluruh UU tersebut akan dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikut,” pungkas dia.
(mjs/ugo)