Jakarta– Pengurus Pusat Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) meminta pemerintah menutup PT Toba Pulp Lestari (TPL) dari kawasan Danau Toba.
Penutupan dilakukan demi menyelamatkan lingkungan, menghindari masyarakat dari kekerasan, dan mengeliminir bencana alam.
Ketua Umum PP GMKI Jefri Edi Irawan Gultom menyebut bahwa keberadaan TPL banyak menyakiti bahkan melukai masyarakat adat dan juga menimbulkan persoalan lingkungan hidup di sekitar Danau Toba.
Jefri mengutip pernyataan seorang sosiolog Johan Galtung yang mengatakan, pembangunan yang melahirkan konflik tidak dapat disebut sebagai pembangunan.
Pembangunan sesungguhnya adalah upaya untuk pemenuhan kebutuhan dasar manusia, baik secara individual maupun kelompok, dengan cara-cara yang tidak menimbulkan kerusakan, baik terhadap kehidupan sosial maupun lingkungan sosial.
“Namun melihat apa yang ditimbulkan oleh TPL, yakni konflik dan kerusakan, maka kami menilai kehadiran TPL tidak untuk pembangunan masyarakat sekitar atau pemerintah daerah,” kata Jefri dalam keterangan tertulis, Minggu, 4 Juli 2021.
Mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Indonesia ini kemudian menegaskan, GMKI memberikan solusi terhadap penutupan TPL, yakni tanah masyarakat adat dikembalikan, karyawan harus mendapatkan pesangon yang layak, jika soal PAD dan pajak untuk negara dapat dicari melalui yang lain, dan tidak harus dari TPL.
“Oleh karena itu dengan tegas saya katakan PT TPL sudah saatnya tutup permanen karena itulah solusi terbaik. Dengan itu kita sedang menyelamatkan lingkungan hidup di sekitar Danau Toba dan menghindarkan masyarakat dari korban kekerasan dan korban bencana akibat aktivitas PT TPL,” katanya.
Dia lalu menyinggung kebijakan pemerintahan Presiden Joko Widodo yang menjadikan Danau Toba sebagai destinasi wisata super prioritas dengan tujuan menjadi wisata kelas internasional.
Seturut dengan itu, maka alam sekitar Danau Toba juga harus terus dijaga dan dibenahi untuk menambah daya tarik Danau Toba sebagai destinasi wisata internasional.
Sebagai perusahaan terbuka yang sahamnya dicatatkan di Bursa Efek Indonesia, TPL menjalankan kegiatan operasional secara profesional
Sejauh ini, kata Jefri, kelestarian alam Danau Toba terus mengalami penurunan kualitas. Ditandai dengan debit air danau yang terus berkurang dikarenakan hutan yang menjadi hulu air Danau Toba diduga telah rusak.
PP GMKI kata dia, berkeyakinan bila potensi wisata Danau Toba dapat dimaksimalkan dengan melestarikan lingkungan sekitar Danau Toba, akan lebih memajukan ekonomi masyarakat di banding mempertahankan keberadaan TPL.
“Bukti keseriusan kami menyikapi hal ini, saya selaku Ketua Umum GMKI menginstruksikan seluruh cabang GMKI Se-Sumatera Utara untuk bergerak bersama masyarakat terdampak dalam memperjuangkan gerakan tutup TPL, dan kami PP GMKI akan suarakan di tingkat pemerintah pusat,” tukas Jefri.
Sebelumnya, Sekretaris Fungsi Bidang Masyarakat PP GMKI Timoteus Lubis sudah melakukan kunjungan lapangan ke lokasi masyarakat terdampak operasional TPL.
“Dua minggu lalu, saya baru saja pulang dari Sumatera Utara untuk melihat langsung persoalan PT TPL, dan saya melihat ada banyak persoalan di sana, salah satunya adalah konflik antar masyarakat adat Desa Natumingka, Kecamatan Borbor, Kabupaten Toba dengan PT TPL pada Mei 2021 lalu. Mengakibatkan setidaknya dua korban luka dari pihak masyarakat adat Natumingka dan kriminalisasi masyarakat adat yang melakukan perlawanan,” ungkap Timoteus.
TPL sebelumnya bernama PT IIU (Inti Indorayon Utama) berdiri pada tahun 1983 diduga telah merusak lingkungan hidup di sekitar Danau Toba.
TPL memiliki konsesi lahan yang terdapat di 11 kabupaten. Perambahan hutan yang dilakukan dengan menanam tanaman eucalyptus dinilai merusak sumber air bagi masyarakat, khususnya para petani dan juga merusak hutan kemenyan sumber mata pencaharian masyarakat.
Ini Kata Direktur TPL
Dalam keterangan berbeda, Direktur PT TPL Jandres Silalahi menyebut perusahaan produsen pulp itu memastikan seluruh kegiatan operasional patuh terhadap aturan yang ditetapkan oleh regulator, baik yang terkait dengan lingkungan maupun sosial-ekonomi masyarakat.
“Sebagai perusahaan terbuka yang sahamnya dicatatkan di Bursa Efek Indonesia, TPL menjalankan kegiatan operasional secara profesional dan sesuai dengan aturan dan perundangan yang berlaku,” kata Jandres, Minggu, 4 Juli 2021.
TPL kata dia, hingga saat ini memiliki area pengelolaan hutan dengan luas gross mencapai 167.912 hektare.
Dari jumlah luasan tersebut, perusahaan hanya mengalokasi sebanyak 70.074 hektare (42 persen) untuk Tanaman Pokok atau tanaman produksi.
Sementara sisanya seluas 55.316 hektare (33 persen) dialokasikan untuk Tanaman Kehidupan (tanaman pangan kemitraan dengan masyarakat setempat), dan 42,522 (25 persen) sebagai Kawasan Lindung.
Dikatakan, meskipun perusahaan telah mengalokasikan 70.074 hektare untuk Tanaman Pokok/Tanaman Produksi, namun realisasi lahan yang dimanfaatkan hanya mencapai 48.000 hektare.
Ini kata Jandres, karena di dalam merealisasikan kebutuhan tersebut, TPL harus memperhatikan aspek-aspek sosial, topografi, lingkungan serta aspek-aspek sustainability yang telah menjadi komitmen perusahaan, seperti area yang memiliki stok karbon tinggi (high carbon stock/HCV) dan area dengan nilai konservasi tinggi (high conservation stock/HCS).
Perusahaan kata dia, tidak akan melakukan pengembangan terhadap daerah yang masuk kategori HCS dan HCV yang dalam hal ini adalah kawasan hutan lindung.
Dia kemudian menyebut TPL konsisten untuk selalu memperhatikan aspek sosial dan ekonomi masyarakat setempat, yang menjadi lokasi operasional perusahaan.
Kerja sama dengan pemangku kepentingan setempat, baik dengan tokoh masyarakat, pemuda dan wanita maupun aparat pemerintah terkait, TPL menyelesaikan sejumlah isu sosial yang terkait dengan lahan dengan berpedoman pada Permen LHK No.83 tahun 2016 tentang Perhutanan Sosial.
“Pendekatan kemitraan ini merupakan solusi terbaik karena terbukti memberi manfaat yang berkelanjutan dan pasti, khususnya buat masyarakat, pemerintah setempat maupun negara,” katanya.
Dia mengungkap, TPL konsisten mengalokasikan dana untuk Community Development /CD sebesar 1 persen dari pendapatan. Di mana dana tersebut dialokasikan untuk pendampingan dan pemberdayaan ekonomi masyarakat yang ada di sekitar perusahaan.[]