Jakarta – Ketua Umum Yayasan Pencinta Danau Toba (YPDT) Maruap Siahaan menyerahkan buku ‘Dampak Lingkungan PT IIU di Kawasan Danau Toba’ kepada Ketua MPR RI Bambang Soesatyo pada Senin (31/5/2021) di Jakarta.
Penyerahan buku dilakukan usai Aliansi Gerakan Rakyat (Gerak) Tutup TPL, yang di dalamnya YPDT tergabung, menyampaikan laporan terkini kondisi Danau Toba kepada Ketua MPR RI.
Maruap Siahaan menjelaskan, penyerahan buku tersebut sebagai simbol permintaan rakyat kepada Ketua MPR selaku lembaga tertinggi negara untuk meminta pemerintah menghentikan dan mencabut izin operasi PT TPL selamanya demi kesejahteraan dan kedamaian masyarakat.
Selain itu, merekomendasikan pembangunan yang ramah lingkungan, inovatif, kreatif dan memberdayakan kemampuan manusia yang luar biasa di kawasan tersebut; bukan mengeksploitasi sumber daya alam yang akan habis dan itu adalah usaha yang sangat tidak kreatif, serta bertolak belakang dengan perubahan zaman yang saat ini masuk ke era teknologi digital dan paperless sehingga PT TPL bukanlah industri strategis.
Selain itu, Presiden Jokowi telah membuat kebijakan menjadikan kawasan Danau Toba sebagai destinasi pariwisata superprioritas, dimana keindahan alam (lingkungan) menjadi pusat keunggulan destinasi tersebut.
Ketua MPR Bambang Soesatyo yang menerima buku tersebut merasa senang dan berjanji mengkomunikasikan permasalahan yang ditimbulkan oleh PT TPL disampaikan kepada pemerintah.
Pada kesempatan tersebut Bambang Soesatyo kembali menegaskan bahwa kehadiran PT TPL itu sangat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat, tidak saja merusak lingkungan, tetapi juga merusak tatanan adat yang ada di daerah tersebut.
“Sudah saatnya pemerintah mengkaji kembali dan jika perlu kembali seperti apa yang telah diputuskan oleh BJ Habibie selaku Presiden RI untuk mencabut izin PT TPL ini, karena lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya bagi masyarakat setempat,” kata Bambang Soesatyo.
Dia mengusulkan agar seluruh areal konsesi TPL dijadikan kawasan pariwisata dan pertanian.
“Sebaiknya kawasan itu diganti, sebagai pengganti industri pulp ini dibangun industri kawasan pariwisata plus pertanian yang lebih menjanjikan dan lebih menentramkan masyarakat,” ujarnya.
BACA JUGA
- GMKI Siantar-Simalungun Minta Pemerintah Tutup PT TPL
- Kekerasan PT TPL kepada Masyarakat Adat Huta Natumingka di Toba
- Ratusan Tanaman Warga di Simalungun Dirusak PT TPL
Maruap menguraikan, buku tersebut penting diketahui Ketua MPR dan masyarakat luas, sebab masih relevan hingga saat ini.
Berbagai permasalahan yang timbul akibat beroperasinya PT Inti Indorayon Utama (IIU) pada masa lalu masih terus berlanjut sampai saat ini ketika perusahaan tersebut telah berganti nama menjadi PT Toba Pulp Lestari, Tbk.
Sebagaimana diketahui, buku tersebut dijadikan dasar oleh Presiden BJ Habibie untuk menghentikan operasi kehutanan dan pabrik Indorayon pada 19 Maret 1999.
Masalah yang ditimbulkan akibat kembali beroperasinya PT TPL sejak tahun 2003 salah satunya kasus penyerobotan lahan.
Kasus terakhir yang mencuat ke publik, yaitu kejadian di Desa Natumingka, Toba pada 18 Mei 2021.
PT TPL mengklaim bahwa wilayah adat Natumingka sebagai kawasan hutan negara dan dikonversikan menjadi Hutan Tanaman Industri (HTI).
Masyarakat tidak terima dan memblokade jalan, akibatnya 12 orang anggota masyarakat adat Natumingka menjadi korban dari tindakan kekerasan yang diduga dilakukan sejumlah karyawan PT TPL.
Aparat kepolisian yang berada di lokasi terkesan membiarkan tindakan tersebut tanpa berupaya mencegah terjadinya tindak kekerasan.
Sebaliknya anggota masyarakat adat selalu dijadikan tersangka oleh aparat kepolisian, sementara kasus kekerasan tidak diproses hukum.
Kasus kekerasan terhadap masyarakat dan penyerobotan lahan masyarakat Natumingka oleh PT TPL merupakan satu dari banyak kasus serupa yang terus terjadi di berbagai wilayah lain di kawasan Danau Toba.
“Negara tidak hadir menunjukkan kedaulatannya di tengah-tengah masyarakat yang mendapatkan penganiayaan dan ketidakadilan,” kata Maruap.
Kasus kerusakan ekosistem dimana sungai-sungai mengering yang pada awalnya ada sekitar 144 sungai saat ini hanya tinggal 20 sungai.
Mengeringnya sungai-sungai mengalir ke kawasan Danau Toba akibat dari penebangan pohon-pohon di sekitar kawasan Danau Toba yang merupakan elemen penting dalam menjaga debit air sungai yang mengalir ke Danau Toba.
Menurunnya debit air Danau Toba yang kemudian disikapi pemerintah dengan membuat hujan buatan beberapa waktu lalu, justru tidak menjawab persoalan sesungguhnya, sebaliknya pemerintah menghamburkan uang negara dan tindakannya sangat tidak strategis.
“Seharusnya pemerintah menyelesaikan persoalan di hulu dengan mengembalikan keasrian alam Danau Toba dengan membiarkan alam merecovery dirinya dengan cara menghentikan penebangan pohon di seluruh kawasan Danau Toba. Penebangan pohon juga, mengakibatkan munculnya banjir bandang dan tanah longsor setiap musim penghujan di Parapat dan daerah lainnya di kawasan Danau Toba, sebab di hulu telah terjadi penebangan hutan secara masif,” katanya.
Banyak kasus lain seperti kerusakan jalan akibat overtonase. Polusi udara dan air, punahnya flora dan fauna endemik di kawasan Danau Toba, menurunnya produktivitas sawah dan kebun, konflik sosial, penurunan citra dan wibawa pemerintah dan aparat negara di mata masyarakat.
Dan paling signifikan adalah, PT TPL diduga memanipulasi pajak berdasarkan laporan PT TPL tahun 2019 di website resmi mereka ke publik. “Dugaan tindak penipuan ini perlu diselidiki secara serius,” tandas Maruap.
Penyerahan buku tersebut turut disaksikan Ronsen Pasaribu selaku Ketua Umum Forum Bangso Batak Indonesia, Laurensius Manurung selaku Ketua Umum Yayasan Percepatan Pengembangan Kawasan Danau Toba, Abdon Nababan dari Dewan Nasional Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, Darman Saidi Siahaan selaku Ketua Umum Naposo Batak se-Jabodetabek, Domu D. Ambarita dari perwakilan masyarakat adat Sihaporas, dan Jhohannes Marbun selaku Sekretaris Eksekutif YPDT. ()