Debat komisi tetap 10 persen transportasi online menguat di Pematangsiantar. Pengemudi dan pengamat menilai kebijakan ini berpotensi turunkan pesanan, hambat inovasi, dan memicu monopoli.
Pematangsiantar|Simantab – Rencana penerapan komisi tetap 10 persen bagi perusahaan aplikasi transportasi online kembali memunculkan perdebatan di berbagai kota, termasuk di Pematangsiantar. Kebijakan ini dinilai bukan hanya soal bisnis, tetapi juga berpotensi mengganggu ekosistem ekonomi digital yang selama ini berkembang sensitif terhadap biaya operasional.
Bagi pengemudi, komisi bukan sekadar angka. Komisi menentukan kemampuan membeli bahan bakar, jumlah pesanan yang masuk, hingga keberlanjutan pendapatan mereka. Di titik ini, kecemasan para pengemudi semakin menguat.
Komunitas Ojol: Tarif Naik, Pesanan Berpotensi Turun
Ketua Komunitas Maxim Kota Pematangsiantar, Evan Sianipar, menilai komisi tetap 10 persen dapat menciptakan lingkaran persoalan baru.

“Kalau harga naik, sementara daya beli masyarakat tidak ikut naik, otomatis jumlah pesanan turun. Pendapatan pengemudi langsung tergerus,” ujarnya, Rabu (3/12/2025).
Ia memaparkan bahwa pasar transportasi online di kota-kota menengah seperti Pematangsiantar sangat sensitif terhadap perubahan tarif. Kenaikan kecil saja dapat menurunkan pesanan secara signifikan.
Menurut Evan, komisi rendah juga berpotensi memaksa perusahaan memangkas fasilitas yang selama ini membantu pengemudi, seperti bonus harian, perlindungan asuransi internal, hingga program penghargaan performa.
“Perusahaan pasti memangkas biaya di area yang dianggap tidak wajib. Bonus dan manfaat itu yang pertama hilang,” katanya.
Dari sisi layanan, Evan mengingatkan bahwa inovasi dapat ikut terhambat. Ruang finansial yang semakin sempit membuat pengembangan fitur, perluasan wilayah operasi, hingga peningkatan keamanan teknologi bisa melambat.
“Padahal di luar kota besar, layanan online ini justru baru berkembang,” tambahnya.
Ancaman Monopoli Pasar
Evan juga menyoroti risiko jangka panjang berupa monopoli. Ia menyebut hanya perusahaan besar yang memiliki modal kuat yang akan mampu bertahan jika komisi ditekan menjadi 10 persen. Sementara perusahaan menengah yang selama ini membuka lapangan kerja di kota berkembang berpotensi tersingkir.
“Kalau tinggal satu atau dua perusahaan saja yang hidup, pengemudi tidak punya posisi tawar. Kebijakan sepenuhnya di tangan aplikator,” ucapnya.
Dalam kondisi seperti itu, masyarakat juga kehilangan pilihan layanan yang lebih murah atau lebih inovatif.
Pandangan Pengamat: Tidak Sesederhana “Komisi Lebih Rendah Lebih Baik”
Pengamat ekonomi dari Universitas Sumatera Utara, Wahyu Ario Pratomo, menilai isu komisi ini merupakan gejala ketidakseimbangan dalam ekosistem transportasi digital. Menurutnya, kebijakan komisi tidak dapat dipandang hanya dari sudut “meringankan beban pengemudi”.
“Komisi rendah tidak otomatis memperbaiki kesejahteraan. Kita harus melihat siapa yang menanggung biaya operasional, siapa yang membiayai inovasi teknologi, dan bagaimana harga memengaruhi permintaan masyarakat,” ujarnya, Rabu (3/12/2025).
Ia menekankan perlunya keseimbangan antara tiga kepentingan utama: pendapatan layak bagi pengemudi, tarif terjangkau bagi masyarakat, dan ruang inovasi bagi perusahaan aplikator.
“Tanpa keseimbangan ini, ekosistem transportasi online mudah terganggu dan menjadi tidak berkelanjutan,” katanya.
Menurut Wahyu, komisi 15 persen yang berlaku saat ini berada pada titik keseimbangan dinamis. Tidak ideal, namun cukup menjaga keberlangsungan pengemudi, konsumen, dan perusahaan.
“Jika komisi diturunkan, kita harus bertanya dari mana biaya inovasi, keamanan data, teknologi, dan ekspansi wilayah ditutup,” jelasnya.
Ia juga mengingatkan potensi “manfaat semu”, yaitu kebijakan yang tampak menguntungkan pengemudi dalam jangka pendek tetapi merugikan mereka jika perusahaan kecil bangkrut dan industri dimonopoli pemain besar.
Peran Pemerintah
Wahyu menilai solusi terbaik bukan sekadar menurunkan komisi, melainkan memastikan persaingan sehat di antara aplikator agar tarif tetap kompetitif.
Ia juga menekankan pentingnya skema perlindungan sosial bagi pengemudi yang ditanggung pemerintah, bukan dibebankan kepada perusahaan aplikasi.
Selain itu, Wahyu mendorong pengawasan tarif yang lebih adaptif, menyesuaikan kondisi pasar di tiap daerah, bukan angka tunggal yang diberlakukan nasional.
Evan Sianipar sepakat bahwa pemerintah perlu mempertimbangkan kondisi lokal sebelum menetapkan kebijakan nasional.
“Kami tidak menolak regulasi. Kami hanya meminta kebijakan yang realistis dan tidak mematikan sumber penghasilan kami,” ujarnya.(Putra Purba)






