Komunitas Siantar–Simalungun menggalang dana untuk korban bencana di Tapanuli. Sejumlah tokoh menilai solidaritas nasional perlu mencakup bantuan bagi masyarakat terdampak di dalam negeri.
Pematangsiantar|Simantab – Sejumlah komunitas di Kota Pematangsiantar dan Kabupaten Simalungun menggelar penggalangan dana untuk korban bencana di Tapanuli, termasuk Sibolga, Tapanuli Tengah, dan Tapanuli Utara. Aksi berlangsung sejak Kamis (27/11/2025) hingga 30 November dengan melibatkan SISISAR, K-SP, GAIB, MPD, DTPeduli, dan jaringan komunitas lainnya. Bantuan yang ditargetkan mencakup uang, pakaian, makanan siap saji, serta perlengkapan darurat.
Founder Komunitas Sobat Peduli, Efendi, mengatakan bahwa aksi ini muncul dari keprihatinan atas kondisi warga yang mengungsi dan keterbatasan bantuan resmi.
“Berapa pun bantuan akan langsung kami salurkan ke lokasi bencana,” ujarnya. Ia menyebut kebutuhan mendesak mencakup selimut, susu anak, dan air bersih, yang diperoleh dari laporan relawan di lapangan.
Di tengah gerakan lokal ini, Efendi juga menyoroti dinamika nasional terkait rencana Perayaan Natal Nasional 2025 yang akan mengangkat solidaritas untuk Palestina di Jakarta pada 5 Januari 2026. Menurutnya, hal itu memunculkan pertanyaan dari sebagian masyarakat mengenai prioritas empati.
Efendi menegaskan bahwa solidaritas untuk Palestina sangat penting, namun ia berharap perhatian yang sama juga diberikan kepada korban bencana dalam negeri. “Korban Tapanuli sedang tinggal di tenda darurat. Apa salahnya jika solidaritas nasional juga menyentuh mereka? Kemanusiaan itu harus adil dan merata,” katanya.
Ia menilai isu internasional sering mendapat panggung lebih besar, sementara tragedi lokal tidak mendapat sorotan yang sebanding. “Ketika empati lebih diarahkan ke luar negeri, ada risiko masyarakat merasa diabaikan. Korban di Tapanuli juga bagian dari republik ini,” ujarnya.
Ketua MUI Kabupaten Simalungun, Drajat Purba, memiliki pandangan serupa. Ia menyebut solidaritas untuk Palestina mulia, namun tidak boleh menggeser tanggung jawab terhadap mereka yang terdampak bencana di dalam negeri.
“Yang dekat ditolong dulu. Ini bukan soal agama, tetapi soal tanggung jawab moral,” ujarnya. Ia mengingatkan bahwa mengabaikan korban lokal dapat memicu persepsi bahwa negara lebih peduli pada isu luar negeri daripada warganya sendiri.
Menurut Drajat, jika persembahan nasional tidak menyentuh persoalan domestik, publik dikhawatirkan merasa kecewa. “Reaksi masyarakat bisa keras. Tapanuli baru saja terkena bencana besar,” katanya. Ia menegaskan bahwa solusi bukan menghentikan dukungan internasional, melainkan memperluas manfaatnya. “Akan lebih kuat jika perayaan nasional juga menyebut korban lokal.”
Sementara itu, Ketua MUI Kota Pematangsiantar, Ali Lubis, menyampaikan pandangan berbeda. Ia menilai rencana persembahan Natal Nasional tidak menimbulkan masalah.
“Namanya membantu, ya silakan. Itu bagian dari kemanusiaan universal,” ujarnya. Ia menegaskan bahwa dukungan umat Kristiani bagi Palestina merupakan tindakan humanis yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai sosial.
Ali Lubis menyebut tindakan tersebut sebagai wujud toleransi dan persaudaraan antarumat. “Menolong orang yang kesulitan adalah perbuatan baik, kapan pun dan untuk siapa pun,” katanya.
Di tengah perbedaan pandangan, seluruh pihak sepakat bahwa kemanusiaan tidak mengenal batas negara. Namun keadilan dalam penyaluran empati tetap menjadi harapan masyarakat, terutama bagi korban bencana yang masih menunggu bantuan di Tapanuli.(Putra Purba)







