Kepemimpinan politik yang promotif menjadi kunci utama di balik peningkatan peringkat itu.
Pematangsiantar|Simantab – Kota Pematangsiantar kembali menorehkan prestasi dalam menjaga kerukunan antarumat beragama. Berdasarkan laporan Indeks Kota Toleran (IKT) 2024 yang dirilis SETARA Institute, Pematangsiantar menduduki peringkat kelima sebagai kota paling toleran di Indonesia.
Capaian ini menunjukkan peningkatan signifikan dari posisi ke-11 pada tahun 2023, sebuah lompatan yang patut diapresiasi.
Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Pematangsiantar, Ali Akbar mengungkapkan, kepemimpinan politik yang promotif menjadi kunci utama di balik peningkatan peringkat itu.
“Penilaian ada empat variabel, salah satunya political leadership yang ikut menggerakkan kepemimpinan di dalam birokrasi pemerintahan dan di lingkup masyarakatnya sendiri,” jelas Ali, Rabu (28/05/2025).
Ali Akbar menyoroti berbagai kebijakan dan tindakan konkret yang diambil oleh Pemerintah Kota (Pemko) Pematangsiantar.
Ini termasuk kehadiran kepala daerah dalam kegiatan yang diadakan oleh kelompok minoritas, respons cepat terhadap insiden intoleransi, serta kemampuan kota dalam mempromosikan toleransi melalui produk hukum.
Selain itu, adanya tindak lanjut penyusunan rencana aksi pencegahan dan penanganan ekstremisme yang mengarah ke terorisme juga menjadi poin penting dalam penilaian SETARA Institute.
Demografi kota yang beragam dengan 15 etnis berbeda, yang semuanya tergabung dalam Forum Komunikasi Antar Lembaga Adat (Forkala), kata Ali, menunjukkan kekuatan pluralisme Pematangsiantar.
Pemko secara aktif memfasilitasi kegiatan keagamaan, bahkan menjadikan aset pemerintah seperti Lapangan Adam Malik sebagai tempat perayaan hari-hari besar keagamaan.
“Bantuan dana sesuai kemampuan anggaran daerah juga disalurkan untuk mendukung kegiatan-kegiatan ini,” timpalnya.
Tidak hanya itu, Pemko Pematangsiantar juga mendorong peran aktif Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) dalam memberikan edukasi dan sosialisasi mengenai pentingnya merawat toleransi.
Sehingga, dengan kepemimpinan politik yang kuat dan partisipasi aktif dari berbagai elemen masyarakat, Pematangsiantar terus membuktikan dirinya sebagai teladan dalam menjaga dan mempromosikan toleransi di tengah keberagaman.
“Pemko sangat peduli itu. Seperti contoh, ada beberapa organisasi di Pematangsiantar buat dialog antar lintas agama. Kepala daerahnya datang ke beberapa perkumpulan atau kegiatan yang dianggap minoritas. Lalu demografi kota ini beragam. Kemudian kalau ada tindakan intoleran, pemerintah tanggap menyikapi atau langsung turun ke lapangan,” tegas Ali.
Sementara itu, Direktur Eksekutif SETARA Institute, Halili Hasan menjelaskan, IKT membantu membentuk wacana publik yang lebih luas mengenai toleransi dan intoleransi.
“IKT menyadarkan pemerintah daerah akan pentingnya membangun ekosistem toleransi dan mendorong mereka untuk berbenah diri dalam memajukan toleransi, sehingga mendorong masyarakat untuk terlibat aktif dalam mengawal dan mendorong praktik toleransi di kota mereka,” ungkap Halili saat dikonfirmasi.
Meskipun mengakui adanya bias subjektivitas yang sulit dihindari dalam penilaian indikator, SETARA menerapkan dua teknik penelitian untuk mengurangi bias tersebut: triangulasi dengan narasumber kunci dan konfirmasi serta self-assessment pada pemerintah kota.
Narasumber kunci yang dilibatkan mencakup akademisi, tokoh agama/lintas iman, tokoh perempuan, dan masyarakat sipil di tingkat lokal, serta berbagai lembaga nasional seperti Ditjen Bina Pembangunan Daerah Kemendagri, Bappenas, Komnas HAM, Komnas Perempuan, BPIP, dan APEKSI.
Halili juga mengakui, banyak pemerintah kota yang tidak mengembalikan lembar self-assessment yang disediakan. Self-assesment tersebut SETARA lakukan “agar lebih fair” sehingga pemerintah kota dapat memiliki ruang untuk menilai dirinya sendiri.
“Alasan kepala daerah tak mengembalikan lembar itu bermacam-macam. Misalnya tidak memiliki waktu untuk mengisinya, harus menunggu instruksi dari atasan ataupun kesulitan untuk mengisi lembar tersebut. Alhasil, dalam ringkasan eksekutif IKT itu disebutkan, para peneliti di SETARA harus menggunakan data sekunder,” tuturnya.
Dalam kasus tersebut, SETARA menggunakan data sekunder seperti peraturan daerah (termasuk kajian perda diskriminatif oleh Komnas Perempuan), Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), data dari Bappenas, pemberitaan media, dan Rencana Strategis (Renstra) instansi struktural pemerintah kota.
Ia merinci, Lima kota teratas dalam IKT 2024 adalah Salatiga (6,544), Singkawang (6,420), Semarang (6,356), Magelang (6,248), dan Pematangsiantar (6,115).
Dua Sisi Mata Uang Toleransi dalam Refleksi Komunitas Agama
Dari sisi komunitas agama, Sekretaris Perwakilan Umat Buddha Indonesia (Walubi) Pematangsiantar, Chandra Lie mengatakan, tidak pernah terdengar konflik antarumat beragama di Siantar.
“Kegiatan beragama masing-masing agama berjalan lancar-lancar saja. Dan hampir tidak ada terdengar adanya masalah di kegiatan ibadah agama lain,” ungkap Chandra.
Hasil laporan IKT 2024 oleh SETARA Institute, Walubi Siantar mendorong masyarakat dan Pemko Pematangsiantar agar bersama-sama meningkatkan atau menambah kegiatan berhubungan toleransi agama.
“Saya rasa, untuk Pemko Siantar di sini sudah cukup bagus merencanakan planning untuk toleransi beragama. Karena hampir seluruh kegiatan keagamaan lain Pemko ikut terlibat,” tutur Chandra, juga Wakil Ketua Majelis Umat Buddha Mahayana Indonesia (Majubumi}.
Ia mengatakan, agama yang dilayani di Indonesia ada enam, yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Dengan beragamnya agama yang ada di Indonesia, lanjutnya, maka akan membuat semakin indah persatuan di Indonesia.
“Demikian juga kami (Walubi) yang sudah masuk di pengurusan FKUB. Sekalipun pengurus FKUB juga adalah terdiri dari unsur-unsur agama yang tadi, namun sesudah masuk ke FKUB, maka suara yang disampaikan tidak lagi semata-mata suara agama yang dianut. Tetapi yang disampaikan sudah merupakan suara FKUB yang terdiri dari beberapa agama tadi,” terang Chandra.
Masih kata Chandra, di Walubi Siantar selalu disampaikan harus rukun. Karena dengan rukun, akan bisa mengajak orang untuk rukun.
“Sehingga bangsa ini, terkhusus Kota Pematangsiantar akan rukun ke depan seperti yang sudah dirasakan sekarang ini. Apa yang diharapkan untuk pembangunan berkelanjutan bagi masyarakat akan terwujud lebih baik lagi ke depannya, bukan sekedar pencapaian ini dari pemerintahan sebelumnya maupun pemerintahan sekarang,” tandasnya.
Di sisi lain, Ketua Ikatan Keluarga Islam Simalungun (IKEIS) Kota Pematangsiantar, Lisman Saragih, juga menyambut baik penghargaan itu sebagai pengakuan atas semangat toleransi di Pematangsiantar.
“Kita bisa melihat dampak yang ditimbulkan di RPJMD kota Pematangsiantar terdahulu yang telah menyelaraskan apa yang menjadi fokus nasional dan menjadi program daerah untuk memberikan dampak pengembangan kualitas dan kesejahteraan masyarakat. Namun hingga saat ini untuk orientasi kepada budaya sangat minim,” tuturnya.
Lisman, tak serta-merta menolak hasil studi itu, ia hanya berhati-hati. Jika studi itu terbukti benar, ia mengatakan akan mencari solusi terbaik bagi permasalahan di Kota Pematangsiantar.
Lisman juga mengatakan keinginannya untuk meninjau lebih dalam riset SETARA dan meminta agar metode yang digunakan dibuka secara utuh untuk memastikan kesahihan studi.
Ia berencana mengundang ahli statistik dan riset ilmu sosial untuk meninjau instrumen penelitian tersebut.
“Kalau alat ukurnya benar kebijakan yang dilakukan, terapinya benar juga. Tapi kalau alat ukurnya tidak benar nanti langkah kami jadi salah juga, bahwa studi itu tidak mencerminkan apa yang sesungguhnya terjadi di tingkat masyarakat,” kata Lisman.
Meskipun demikian, Lisman memahami, tidak ada satu indeks atau pengukuran pun yang dapat menangkap secara mutlak suatu fenomena abstrak seperti toleransi. Ia menyarankan agar laporan seperti IKT tidak dilihat sebagai kebenaran mutlak, namun juga jangan bersikap defensif.
“Jika kita baca laporan seperti ini, kita tahu apa yang bisa kita pelajari. Kita bisa benahi negara ini secara keseluruhan. Pentingnya sikap kritis dalam membaca studi tersebut. Menyelidiki lebih dalam esensi toleransi, bukan hanya sekadar peringkat,” kata Lisman.(putra purba)