Variasi menu MBG patut diapresiasi, tetapi mutu bahan baku dan standar pengolahan harus tetap terjamin.
Pematangsiantar|Simantab – Program Makanan Bergizi Gratis (MBG) di sekolah-sekolah Kota Pematangsiantar, mulai jenjang SD hingga SMA/SMK negeri, memunculkan perdebatan di kalangan orang tua. Meski ditujukan untuk memenuhi gizi seimbang siswa, tidak semua keluarga merestui anak-anaknya ikut menikmati hidangan tersebut.
Di SMA Negeri 1 Pematangsiantar, banyak siswa justru tidak mengambil jatah MBG karena larangan orang tua. Hal itu dibenarkan Rosma Siahaan, orang tua siswa kelas XI IPA 2. Ia mengaku lebih nyaman menyiapkan makanan sendiri untuk anaknya dengan alasan rasa percaya.
“Saya bukan tidak menghargai program pemerintah, tapi kalau soal makanan saya lebih percaya masakan di rumah. Saya tahu cara mencuci beras, menggoreng ikan, dan memastikan minyaknya tidak dipakai berulang kali. Kalau di sekolah, kita tidak tahu sejauh mana higienitas dijaga. Anak saya pernah cerita lauknya tidak segar. Itu yang membuat saya melarang anak saya mengambil kotak makan MBG. Lebih baik bekal dari rumah,” katanya, Senin (29/9/2025).

Ia juga khawatir program MBG membuat orang tua yang sudah repot memasak merasa tersisih.
“Kami sudah keluar biaya belanja di rumah, lalu anak tidak makan bekal hanya karena ada makanan gratis di sekolah. Itu sama saja membuat masakan rumah terbuang. Kalau pemerintah benar-benar mau membantu, lebih baik beri subsidi bahan pangan ke keluarga, bukan sekadar makanan jadi,” ujarnya.
Senada dengan itu, Parlindungan Siregar, orang tua siswi kelas XII IPA SMA Negeri 5, juga melarang anaknya ikut MBG, meski sekolah anaknya belum menerapkan program ini.
“Saya sering lihat di berita, banyak yang mengeluh. Lauknya kadang hambar, kadang terlalu pedas, bahkan ada yang keracunan. Kalau dipaksa ikut, akhirnya tidak dimakan juga. Itu pemborosan. Maka saya bilang lebih baik bawa bekal dari rumah. Paling tidak saya tahu makanan itu benar-benar dimakan, bukan dibuang,” ungkapnya.
Menurutnya, setiap anak punya selera dan kebiasaan makan yang berbeda, sementara MBG sering tidak mempertimbangkannya.
“Program ini bagus, tapi ukuran keberhasilan bukan pada jumlah porsi yang dibagikan, melainkan apakah siswa benar-benar mendapat manfaatnya,” katanya.
Berbeda dengan mereka, Duma Manurung, orang tua siswa kelas X-2 SMK Negeri 1 Pematangsiantar, justru melihat MBG sebagai kesempatan anaknya menikmati menu lebih sehat dibanding bekal seadanya dari rumah.
“Anak saya sering hanya bawa roti atau mi instan. Kalau dibandingkan, MBG jelas lebih seimbang. Ada sayur, lauk, dan buah. Itu bahkan lebih baik dari bekal saya. Tapi kualitas jangan turun hanya karena mengejar kuantitas. Kalau konsisten dijaga, saya mendukung anak saya ikut,” ucapnya.
Ia menambahkan, variasi menu MBG patut diapresiasi, tetapi mutu bahan baku dan standar pengolahan harus tetap terjamin.
SPPG: Kualitas Makanan Terus Diawasi
Kritik tersebut ditanggapi Kepala Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) Kota Pematangsiantar, Dinda Lestari. Ia menegaskan menu MBG disusun berdasarkan pedoman gizi seimbang, terdiri dari karbohidrat, protein hewani, protein nabati, sayur, dan buah.
“Kami juga mengawasi higienitas dapur sekolah. Jadi tidak perlu khawatir soal keracunan atau makanan basi. MBG dirancang untuk memastikan anak-anak mendapat asupan gizi teratur,” katanya, Senin (29/9/2025).
Ia menyebut sebanyak 2.081 paket MBG disalurkan ke jenjang SD hingga SMA/SMK negeri di Pematangsiantar. Beberapa sekolah penerima di antaranya SDN 122380 dengan 159 porsi, SDN 122381 dengan 116 porsi, SDN Percontohan dengan 323 porsi, SD Swasta GKPS 1 dengan 116 porsi, SMPN 7 dengan 504 porsi, dan SMKN 1 dengan 863 porsi.
Dinda menambahkan, pilihan orang tua memberi bekal dari rumah tetap harus dihormati. Namun menurutnya, tidak semua keluarga mampu menyediakan variasi menu setiap hari.
“Banyak siswa justru mendapat menu lebih beragam dari MBG dibanding apa yang biasanya mereka bawa. Karena itu, kami berharap orang tua bisa lebih terbuka melihat manfaat program ini,” ujarnya.
Dinas Pendidikan: Kelemahan Bukan Alasan Gagalkan Program
Pelaksana Tugas Kepala Cabang Dinas Pendidikan Sumatera Utara Wilayah VI, Augus Sinaga, menilai perbedaan sikap orang tua menunjukkan bahwa program tidak bisa hanya dijalankan dari sisi teknis, tetapi juga membutuhkan penerimaan sosial.
“Ada orang tua yang lebih percaya pada bekal rumah, itu wajar. Tapi sekolah juga harus lebih transparan, misalnya menjelaskan proses pengolahan makanan dan menyampaikan menu secara terbuka agar kepercayaan orang tua semakin kuat,” katanya.
Menurutnya, MBG tidak boleh dipahami sekadar sebagai pembagian makanan gratis, melainkan bagian dari investasi jangka panjang pemerintah dalam pembangunan manusia.
“Program ini seharusnya punya nilai lebih: anak belajar makan bersama, memahami pola gizi seimbang, dan membangun kebersamaan di sekolah. Kalau hanya soal kenyang, itu bisa dilakukan di rumah. Tapi untuk pendidikan dan nilai kebersamaan, MBG punya ruang besar menjadi pengalaman berharga,” jelasnya.
Ia menambahkan, bagi sebagian keluarga, bekal rumah tetap menjadi simbol kendali atas gizi dan kebersihan. Namun bagi yang lain, MBG adalah kesempatan memperkaya variasi pangan dan menanamkan kesadaran kolektif akan pentingnya gizi seimbang.
“Asupan gizi itu sama pentingnya. Banyak anak masuk sekolah tanpa sarapan, akhirnya tidak fokus belajar. MBG hadir untuk menjawab persoalan itu. Jadi bukan sekadar gratis, tapi memastikan anak-anak punya energi dan konsentrasi yang sama di kelas,” tuturnya.
Di tengah tarik-menarik itu, satu hal menjadi jelas: keberlanjutan MBG akan sangat bergantung pada kualitas, transparansi, dan seberapa besar program ini mampu menjawab kegelisahan masyarakat.(Putra Purba)