Jakarta – Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD mengungkap ada pengamat bayaran. Bicara atas nama keahlian, dengan membuat dalil-dalil yang ingin membuat sebuah kebijakan rasional menjadi tidak rasional.
“Ada pengamat disuruh ngomong lalu dibayar,” kata Mahfud MD, ketika menjadi keynote speaker dalam Seminar 50 Tahun CSIS Indonesia dengan topik ‘Meneguhkan Kebangsaan, Demokrasi, dan Kesejahteraan’, yang juga disiarkan live di saluran YouTube CSIS, Senin, 26 Juli 2021.
Mahfud mengaku mengetahui praktik seperti itu, karena dirinya juga pernah menjadi pengamat dan ada yang pernah mencoba meminta bantuan dan menawarkan uang.
“Saya tahu, saya dulu kan pengamat. Ada orang nawari, pak tolong hanya bapak yang bisa ngomong ini, terus nawari uang. Ada, pengamat-pengamat begitu,” ungkapnya.
Karenanya kata Mahfud, ketika ada sesuatu, banyak pengamat menjadi tidak rasional, bicara atas nama keahliannya tapi mencari dalil-dalil yang ingin tidak membenarkan kebijakan yang sifatnya rasional.
Kondisi itu menurut Mahfud menjadi persoalan di saat pemerintah, misalnya sedang menyiapkan sebuah regulasi. Selain menghadapi benturan dari legislatif, juga dari para pihak yang merasa terganggu.
Mahfud menyebut, pemerintah misalnya saat ini sedang menyiapkan RUU Perampasan Aset. Ada problem di mana swasta punya utang dalam urusan perdata ke negara, tapi karena sering-sering mangkir, mau disita melalui cara-cara pidana.
Kemudian menyiapkan RUU Pembatasan Belanja Uang Tunai. Di mana aturan ini dimungkinkan untuk mengeliminir praktik-praktik korupsi.
Ada pengamat seperti itu, ada
“Agar Anda tidak korupsi, rakyat tidak korupsi, kalau Anda mau belanja lebih dari Rp 100 juta harus lewat bank, tak boleh lewat penyerahan tunai,” bebernya. “Kalau Anda nyerahkan uang ke bank lebih dari Rp 100 juta, nyimpan, dijelaskan dari mana asal usulnya,” sambungnya.
“Sekarang kan orang korupsi dianterin uang satu koper, gak lewat transfer bank. Takut, sudah ada PPATK. Transfer koper. Masuk ke pesawat gitu, duduk di sebelah kanan, koruptornya di sebelah kiri membawa tas yang sama. Satu berisi uang, satu berisi koran. Ditukar aja, turun dia. Transaksinya tunai,” kata Mahfud membuat ilustrasi.
Dengan lahirnya aturan yang tengah disiapkan ini, menurut dia, orang yang berbelanja lebih dari Rp 100 juta, harus dijelaskan uang ditarik dari bank mana dan mau dikirim ke nomor rekening siapa.
“Temuan PPATK yang dilaporkan ke saya, uang ratusan miliar turun dari bank, tetapi pembelanjaannya tidak ada. Uangnya sudah ditarik, tapi masuk ke apa-apa lagi ndak ada,” bebernya.
Modusnya, jelas eks Ketua MK itu, mereka (koruptor) pergi ke Singapura untuk berjudi. Lalu uang ditukar mata uang dolar dan dibawa pulang berkoper-koper dengan menyebut menang judi. “Padahal itu uang korupsi,” ujarnya.
“Nah besok nda bisa begitu, Anda ngeluarkan uang segitu untuk apa mau disalurkan, dibayar untuk apa, bayar lewat bank mana,” katanya, menegaskan jika kelak RUU Pembatasan Belanja Uang Tunai misalnya, sudah berlaku.
Mahfud mengakui, di saat aturan ini tengah disiapkan banyak pihak keberatan. Termasuk mereka yang sudah kadung menyimpan uang dolar berkoper-koper.
“Itu diapakan besok. Itu sedang kita pikirkan, itu kita putihkan. Pokoknya UU ini berlaku saat diundangkan diberi waktu tiga tiga bulan buat yang punya uang tunai, tidak akan diperiksa, uangnya simpan di bank,” jelasnya.
Pembuatan regulasi yang seperti ini menurut dia, harus dipikirkan bersama. Karena nanti benturannya bukan hanya dari legislatif, tetapi juga dari pengusaha yang ingin menyuap, bahkan termasuk di tubuh pemerintahan itu sendiri.
“Tapi ini berhadapan lagi dengan proses demokrasi tadi, nanti kan yang orang-orang nakal itu tinggal bayar aja pengamat. Kamu ngomong aja ngak setuju. Ada pengamat seperti itu, ada,” tukasnya.[]