Petani Pematangsiantar hadapi tantangan hilirisasi dan krisis regenerasi. Dukungan pemerintah, modernisasi, dan kepastian harga jadi kunci masa depan pangan.
Pematangsiantar|Simantab – Di tengah maraknya alih fungsi lahan dan menurunnya minat generasi muda untuk bertani, para petani di Kota Pematangsiantar terus berjuang menjaga keberlanjutan pangan.
Meski wilayah ini menjadi salah satu sentra pertanian di Sumatera Utara, sawah dan ladang di Kecamatan Siantar Marimbun dan Pematang Marihat masih menjadi tumpuan banyak keluarga. Namun, kesejahteraan petani belum sepenuhnya terwujud.
Petani Siantar Minta Hilirisasi Nyata, Bukan Sekadar Janji

Ketua Gapoktan Suka Maju Kecamatan Siantar Marimbun, Jonter Hasibuan (42), menyebut hilirisasi sebagai jalan penting. Menurutnya, hilirisasi tidak hanya soal nilai tambah produk, tetapi juga menyangkut pengelolaan dan pemasaran yang efektif.
“Hilirisasi itu bukan sekadar menghasilkan jagung atau padi, tapi menciptakan produk akhir yang punya nilai lebih. Misalnya beras kemasan atau olahan untuk ternak. Dengan begitu, pendapatan petani bisa meningkat,” ujarnya, Kamis (2/10/2025).
Ia menilai tanpa edukasi dan dukungan pengolahan hasil, petani akan terus terjebak dalam rantai distribusi yang merugikan.
“Petani harus paham pentingnya pengolahan dan pemasaran supaya penghasilan benar-benar meningkat,” tambahnya.
Sementara itu, petani di Kelurahan Pematang Marihat, Rento Silitonga (33), menyoroti soal regenerasi. Menurutnya, anak-anak muda masih enggan turun ke sawah.
“Mayoritas petani di sini sudah berusia tua. Kalau tidak ada penerus, siapa lagi yang akan menjaga pangan kita?” katanya.
Ia menekankan perlunya dukungan pemerintah agar petani memiliki akses modal, pelatihan, dan pasar.
“Petani butuh kepastian harga. Kalau hasil panen tidak sebanding dengan biaya, siapa lagi yang mau bertahan di sawah?” ujarnya.
Menurut Rento, jika pemerintah hadir dengan kebijakan hilirisasi yang serius, menyediakan pelatihan, akses modal, dan pasar, situasi bisa berbeda. “Selama ini yang sering muncul hanya program seremonial, sementara kenyataannya petani tetap sendirian menghadapi harga pupuk mahal, panen murah, dan lahan yang makin sempit,” tutupnya.
Ketika Hilirisasi Jadi Kunci, Mengapa Petani Masih Jauh dari Sejahtera?
Golfrit Sinaga, Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) Siantar Marimbun, menegaskan pentingnya dukungan konkret bagi petani.
“Kita mendorong petani jangan berhenti di produksi saja. Jagung bisa diolah jadi pakan ternak, beras bisa dipasarkan dengan merek sendiri. Itu semua butuh akses modal, pelatihan, dan kepastian harga,” jelasnya.
Menurut Golfrit, regenerasi petani mungkin terjadi bila bertani terlihat modern dan menguntungkan. “Anak muda pasti tertarik kalau bertani bisa pakai teknologi digital, bukan lagi identik dengan kerja berat berpenghasilan pas-pasan,” tambahnya.
Sementara itu, pengamat pertanian Roeskani Sinaga menyebut hilirisasi dan mekanisasi sebagai kunci. Ia mencontohkan, satu hektare sawah bisa menghasilkan enam ton gabah kering panen dengan potensi keuntungan Rp20 juta per musim, bila panen dilakukan efisien dengan mesin.
“Negara maju seperti Jepang, China, dan Amerika tidak pernah meninggalkan mekanisasi. Mereka melindungi petani dengan teknologi, subsidi, hingga jaminan pasar. Indonesia harus belajar dari situ,” ujar Roeskani, Jumat (3/10/2025).
Ia menegaskan hilirisasi dan mekanisasi bukan pilihan, melainkan keharusan jika Indonesia ingin mandiri pangan.
Ancaman Regenerasi Petani
Roeskani menuturkan, data BPS menguatkan kekhawatiran. Pada 2013 sekitar 60,79 persen pengelola usaha pertanian berusia di atas 45 tahun. Sepuluh tahun kemudian angkanya naik menjadi 66,44 persen.
Mayoritas petani hanya berpendidikan SD ke bawah, sementara 60 persen rumah tangga usaha tani menguasai lahan kurang dari 0,5 hektare.
Akibatnya, pendapatan petani gurem sangat rendah. Pada 2023, rata-rata hanya Rp44.507 per hari kerja (sekitar 43 kali lebih rendah dibanding petani non-skala kecil).
“Tak heran jika anak-anak muda enggan melanjutkan profesi orang tuanya,” tutupnya.
Jalan Panjang Menuju Petani Sejahtera
Meski penuh tantangan, hilirisasi pertanian tetap dianggap peluang besar. Bagi Roeskani, kunci utamanya ada pada keberanian berinovasi dan keberpihakan kebijakan.
“Kalau hilirisasi benar-benar diterapkan, petani tidak hanya sejahtera, tapi juga berdaulat,” tegasnya.
Dengan lahan yang makin menyusut, usia petani yang menua, dan tantangan global yang kian kompleks, masa depan pangan di Pematangsiantar dan Indonesia bergantung pada satu hal: berani atau tidak melakukan terobosan nyata.