Kasus kekerasan rumah tangga dan bullying di sekolah hanyalah dua sisi dari mata uang yang sama: produk dari lingkungan keluarga yang disfungsional.
Pematangsiantar|Simantab – Di balik hiruk-pikuk kehidupan Kota Pematangsiantar, ada kenyataan pahit yang masih menghantui: angka kekerasan terhadap perempuan dan anak. Dari Januari hingga Agustus 2025, tercatat 23 kasus di meja Dinas Sosial Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (P3A). Enam di antaranya menimpa perempuan dewasa, kebanyakan dalam lingkup rumah tangga. Sementara 17 kasus lainnya melibatkan anak-anak, mayoritas pelajar perempuan.
Di tengah angka yang memprihatinkan itu, harapan warga bertumpu pada pembangunan Rumah Aman – sebuah tempat perlindungan bagi korban. Namun, rencana itu masih berjalan di atas kertas. Berkas pengajuan baru sampai di Biro Ortala Provinsi Sumatera Utara, sementara tenaga pendamping hukum, psikolog, dan pekerja sosial yang dibutuhkan belum tersedia.
Kabid Perlindungan Perempuan dan Anak Dinsos P3A, Ariandi Armas menyadari hambatan itu. Ia menyebut pentingnya forum bagi anak-anak untuk bersuara.
“Forum Anak Daerah menjadi langkah strategis agar anak-anak bisa menyampaikan hak-hak mereka,” ujarnya.
Ia menggambarkan kekerasan seperti virus yang mudah menular, meninggalkan trauma yang panjang jika tidak segera diputus rantainya.
Kekerasan sebagai Virus Sosial
Pandangan senada datang dari pengamat sosial, Agus Suriadi. Ia menekankan bahwa kekerasan bukan sekadar masalah ekonomi, melainkan virus sosial yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
“Anak yang tumbuh di rumah penuh kekerasan cenderung membawa pola itu ke luar rumah, misalnya dengan melakukan perundungan di sekolah. Lingkaran ini terus berputar,” jelasnya.
Menurut Agus, kasus kekerasan rumah tangga dan bullying di sekolah hanyalah dua sisi dari mata uang yang sama: produk dari lingkungan keluarga yang disfungsional.
Melebihi Sekadar Mediasi
Agus juga mengkritisi metode penyelesaian kasus yang selama ini mengandalkan mediasi. “Mediasi hanya menyentuh permukaan. Tanpa intervensi psikologis dan sosial yang mendalam, janji pelaku tidak akan menghentikan pola kekerasan,” tegasnya.
Baginya, solusi harus lebih komprehensif: pendekatan preventif dan rehabilitatif yang berjalan seiring. Rumah Aman adalah langkah penting, tetapi harus didukung ekosistem lengkap – SDM kompeten, sistem rehabilitasi, dan dukungan hukum yang kuat.
“Rumah Aman bukan sekadar bangunan. Tanpa psikolog, pendamping hukum, dan pekerja sosial, ia hanya akan menjadi tempat singgah, bukan ruang pemulihan,” tambahnya.
Suara Anak dan Budaya Damai
Agus memberi catatan pada rencana pembentukan Forum Anak Daerah. Ia mengapresiasi gagasan itu, tetapi mengingatkan agar forum tidak berhenti menjadi simbol.
“Suara anak harus benar-benar didengarkan dan masuk ke dalam kebijakan publik, mulai dari pembangunan hingga pendidikan,” katanya.
Pada akhirnya, tantangan terbesar bagi Pematangsiantar adalah membalikkan budaya kekerasan menjadi budaya damai. Agus menutup dengan refleksi tajam: “Kita tidak bisa hanya mengobati gejalanya. Pemerintah, masyarakat, dan keluarga harus bekerja sama untuk mengubah budaya kekerasan menjadi budaya damai. Itulah satu-satunya cara untuk memutus rantai ‘virus’ ini.”(Ronal Sibuea)