Selain itu, Serbelawan juga dikenal sebagai basis penyebaran syiar Islam terbesar di Kabupaten Simalungun. Kota ini melahirkan generasi penerus dakwah yang tetap bertahan hingga kini.
Simalungun|Simantab – Di tengah hiruk pikuk jalur penghubung Kota Pematangsiantar dan Tebing Tinggi, terhampar sebuah nagori yang menyimpan segudang kisah: Kota Serbelawan.
Berada di Kecamatan Dolok Batu Nanggar, Kabupaten Simalungun, Serbelawan bukan sekadar kota persinggahan. Ia adalah saksi bisu kolonialisme, pusat perlawanan rakyat, dan kini pusat ekonomi yang terus berkembang.
Sekilas, Serbelawan terlihat layaknya kota dengan luas sekitar 5,1 km². Namun, jika diperhatikan lebih dekat, beberapa bangunan pertokoan tua dengan arsitektur khas Belanda masih kokoh berdiri. Ini adalah jejak visual pertama yang membawa kita kembali ke masa lalu, saat Serbelawan dibangun sebagai kota penyangga untuk perkebunan karet, kelapa sawit, dan rami.
Selain itu, beberapa tokoh nasional pernah tinggal di daerah ini, antara lain TD Pardede, Probosutedjo, Surya Paloh, dan Kamarudin Panggabean.
Kota yang Lahir dari Perkebunan dan Rel Kereta Api
Sejarawan dan antropolog sepakat bahwa ada mitologi kuno yang melatarbelakangi berdirinya Kota Serbelawan. Namun, menurut antropolog Sumatra Utara, Ibnu Avena Matondang, sejarah kota ini justru terukir dari pembangunan infrastruktur kolonial.
“Pada dasarnya, Serbelawan dulunya hanyalah wilayah hutan atau lahan kosong,” jelas Ibnu saat dihubungi, Sabtu (23/8/2025).
Ia mengatakan pertumbuhan kota ini sangat dipengaruhi dua faktor utama di era Belanda, yakni pembangunan jalur kereta api pada 1880-an dan perkembangan perkebunan. Jalur kereta yang dibangun Deli Spoorweg Maatschappij (DSM) bertujuan mengangkut hasil perkebunan dari pedalaman Simalungun ke Pelabuhan Belawan di Medan.
“Serbelawan menjadi salah satu stasiun penting di jalur ini, yang kemudian menarik para pekerja dan pedagang untuk menetap, membentuk cikal bakal pemukiman,” ungkapnya.
Selain itu, Serbelawan tumbuh sebagai sentra perkebunan karet dan kelapa sawit. Kota ini menjadi pusat logistik yang melayani kebutuhan para pekerja perkebunan sekaligus tempat transit hasil bumi.
Nama “Serbelawan” sendiri diyakini berasal dari gabungan dua kata: Serdang (bekas wilayah Kesultanan Serdang) dan Belawan (nama pelabuhan tujuan). Nama ini menggambarkan fungsinya sebagai jalur penghubung dari Serdang menuju Belawan.
Ibnu mencatat, di Simalungun sering ditemukan sebutan “kota” untuk wilayah yang secara administratif masih berstatus nagori atau kelurahan. “Ini bukan sekadar kebetulan, melainkan cerminan sejarah panjang, fungsi sosial, dan peran ekonomi yang diemban wilayah tersebut,” katanya.
Meskipun berstatus nagori, kehidupan sosial dan ekonomi di Serbelawan jauh lebih dinamis dibanding desa lain. Fungsi sentral ini membuat masyarakat menyebutnya “kota” karena aktivitasnya menyerupai pusat perkotaan.
Keberadaan stasiun kereta api yang dibangun Belanda menjadikan Serbelawan titik vital. “Pada masanya, Serbelawan memiliki fasilitas lengkap seperti listrik dari PLTA Bahbolon dan air dari PAM Titanadi. Infrastruktur ini memperkuat statusnya sebagai pusat maju, selayaknya sebuah kota kecil,” tambah Ibnu.
Saksi Bisu Perlawanan Rakyat dan Pusat Syiar Islam
Di balik fungsi ekonominya, Serbelawan menyimpan cerita heroik perlawanan rakyat Simalungun. Budayawan Pematangsiantar, Sultan Saragih, mengungkapkan bahwa Serbelawan adalah lokasi bersejarah tempat Ikrar Sarbulawan dikumandangkan.
Peristiwa itu bermula ketika Tengku Muhammad Nurdin, Raja Padang (Tebing Tinggi) sekaligus kerabat Kerajaan Raya, diturunkan dari tahta dan ditawan di Medan oleh Sultan Deli atas hasutan Belanda pada 1885.
Harungguan Bolon di Raya menjadi saksi pertemuan para raja Simalungun. Mereka sepakat menunjuk Tuan Rondahaim, Raja Goraha Marompat, sebagai pimpinan perang melawan Belanda agar tidak masuk ke tanah Simalungun. Ikrar tersebut diumumkan di Sarbulawan (Serbelawan) sebagai pernyataan perang.
“Hingga kini masih ada tanah pertapakan yang diyakini sebagai posko pasukan Tuan Rondahaim,” ujar Sultan. Lokasi posko itu kini berada di dekat pintu gerbang masuk Simalungun, Desa Dolok Kahean, Kecamatan Tapian Dolok.
Selain itu, Serbelawan juga dikenal sebagai basis penyebaran syiar Islam terbesar di Kabupaten Simalungun. Kota ini melahirkan generasi penerus dakwah yang tetap bertahan hingga kini.
Kota Modern yang Tetap Menghargai Warisan
Kini, Serbelawan telah berkembang menjadi ibu kota Kecamatan Dolok Batu Nanggar. Kota ini memiliki fasilitas modern seperti pusat perbelanjaan, perkantoran, dan sekolah berkualitas. Namun, di balik kemajuan itu, Serbelawan tetap teguh pada identitas sejarahnya.
“Masyarakat tidak melupakan sejarahnya sebagai kota persimpangan dan penghasil karet serta kelapa sawit terbesar di Simalungun,” kata Sultan.
Jejak masa lalu juga masih terawat, seperti makam tokoh marga Purba, Tuan Dolok Maranggir, figur penting pada zamannya. Stasiun kereta api peninggalan Belanda pun masih aktif hingga sekarang, menjadi penghubung yang tak lekang oleh waktu.
Serbelawan memang tidak memiliki pesona alam seperti Parapat di tepian Danau Toba atau destinasi bersejarah seperti Pematang Raya. Namun, daya tarik utamanya justru terletak pada kisah panjangnya.
“Serbelawan ni Huta adalah perpaduan harmonis antara masa lalu yang penuh sejarah dan masa kini yang terus bergerak maju, menjadikannya permata tersembunyi di tanah Simalungun,” tandas Sultan.(Putra Purba)