Di setiap perhelatan konstalasi keikutsertaan JR Saragih selalu menghasilkan cerita tersendiri. JR Saragih selalu menjadi magnet bagi pemberitaan media. Pemilihan Gubernur pada tahun 2018 menunjukkan bagaimana
Dan dalam menyongsong pemilihan legislatif 2024 JR Saragih kembali dijegal oleh sekelompok orang. Dan tentu saja dihempang atas nama demokrasi dan alasan alasan demi pemilu yang berkualitas.
Dan sebenarnya yang menjegal sudah ikuti prosesnya bahwa yang dipersoalkan sudah selesai dituntaskan secara fair dan terbuka di tahun 2019 yang lalu.
Persoalan yang disorotpun berkutat tentang ijasah yang penyelesaiannya terdokumentasi secara langsung dan terbuka bahwa suku dinas pendidikan DKI Jakarta sudah melegalisir Surat Keterangan Pengganti Ijasah atas nama JR Saragih pada kesempatan tersebut.
Lalu apa lagi yang dipersoalkan? Memang yang menjegalpun sadar bahwa premis mereka lemah. Tetapi tujuannya bukan untuk membatalkan pencalonan JR Saragih namun lebih memproduksi framing bahwa JR bermasalah.
Ini adalah framing jahat dan tidak fair. Ini adalah usaha yang jauh dari sebuah prinsip prinsip demokrasi. Ini adalah sebuah narasi jahat minimal untuk mendeskreditkan JR Saragih. Ini adalah usaha untuk menggembosi image JR dimata publik terutama calon pemilihnya.
Apakah demokrasi seperti ini yang mau kita bangun. Apakah kita ingin pemilu 2024 ini menjadi ajang untuk saling mempermalukan? Tentu saja tidak.
Dan masyarakat yang ingin menghasilkan anggota legislatif yang berkualitas tentu saja harus bersuara dan ikut menyoroti aktivisme dari perkumpulan yang berniat jahat tersebut.