Dalam amar putusan, MK menyatakan Pasal 201 ayat (7) UU Pilkada yang semula berbunyi,
“Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil Pemilihan tahun 2020 menjabat sampai dengan tahun 2024” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai, “Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil Pemilihan tahun 2020 menjabat sampai dengan dilantiknya Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil Pemilihan serentak secara nasional tahun 2024 sepanjang tidak melewati 5 (lima) tahun masa jabatan”.
“Sehingga, norma Pasal 201 ayat (7) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi UndangUndang selengkapnya menjadi berbunyi, “Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil Pemilihan tahun 2020 menjabat sampai dengan dilantiknya Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil Pemilihan serentak secara nasional tahun 2024 sepanjang tidak melewati 5 (lima) tahun masa jabatan”, kata Ketua MK Suhartoyo membacakan amar putusan.
Permohonan pengujian materiil UU Pilkada tersebut diajukan oleh 13 orang kepala daerah, yaitu Al Haris (Gubernur Jambi), Mahyedi (Gubernur Sumatera Barat), Agus Istiqlal (Bupati Pesisir Barat), Simon Nahak (Bupati Malaka), Arif Sugiyanto (Bupati Kebumen), Sanusi (Bupati Malang), Asmin Laura (Bupati Nunukan), Sukiman (Bupati Rokan Hulu), Moh. Ramdhan Pomanto (Walikota Makassar), Basri Rase (Walikota Bontang), Erman Safar (Walikota Bukittinggi), Rusdy Mastura (Gubernur Sulawesi Tengah), dan Ma’mur Amin (Wakil Gubernur Sulawesi Tengah).
Wakil Ketua MK Saldi Isra dalam pertimbangan hukum putusan menyatakan, Mahkamah menegaskan terhadap norma Pasal 201 ayat (7) UU Pilkada memungkinkan bagi kepala daerah dan wakil kepala daerah hasil pemilihan tahun 2020 untuk tetap terus menjalankan tugas dan jabatannya sampai pelantikan kepala daerah dan wakil kepala daerah hasil pemilihan serentak secara nasional tahun 2024 sepanjang tidak melebihi masa jabatan 5 (lima) tahun.
Oleh karena pemaknaan Mahkamah terhadap Pasal 201 ayat (7) UU Pilkada tersebut tidak sebagaimana yang dimohonkan oleh para Pemohon, maka dalil permohonan para Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian.
Makna Keserentakan
Terhadap dalil para Pemohon mengenai Pasal 201 ayat (8) UU Pilkada, sambung Saldi, Mahkamah perlu mengaitkannya dengan petitum para Pemohon yang memohon kepada Mahkamah agar norma Pasal 201 ayat (8) UU Pilkada dimaknai
“Pemungutan suara serentak untuk 276 Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota yang mengakhiri masa jabatan pada tahun 2022 dan 2023 dilaksanakan pada Bulan November 2024 dan Pemungutan Suara serentak untuk 270 Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil Pemilihan Kepala Daerah Tahun 2020 dilaksanakan pada Desember 2025”.
Terhadap petitum demikian, menurut Mahkamah justru akan menghilangkan makna keserentakan yang telah dirancang oleh pembentuk undang-undang. Sebab, pemilihan kepala daerah dan wakil kepala dearah serentak secara nasional telah disusun desain penyelenggaraan transisi yang terdiri atas beberapa gelombang, yaitu pelaksanaan pemilihan serentak pada 2015, 2017, 2018, 2020, dan November 2024.
Terlebih lagi, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 12/PUU-XXII/2024, Mahkamah telah menegaskan jadwal pemungutan suara serentak nasional dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota secara serentak tetap dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Pasal 201 ayat (8) UU 10/2016, yaitu November 2024.
“Meskipun penegasan terkait dengan jadwal tersebut tidak diamarkan dalam putusan tersebut, namun melalui putusan a quo, Mahkamah penting menegaskan kembali bahwa pertimbangan hukum putusan Mahkamah juga mempunyai kekuatan hukum mengikat sebab pertimbangan hukum merupakan ratio decidendi dari putusan secara keseluruhan. Berdasarkan pertimbangan hukum, maka permohonan para Pemohon berkenaan dengan norma Pasal 201 ayat (8) UU 10/2016 yang mengakibatkan berubahnya jadwal pemungutan suara serentak secara nasional adalah tidak beralasan menurut hukum,” ucap Saldi.
Pendapat Berbeda
Putusan MK tersebut diwarnai pendapat berbeda (dissenting opinion) dari Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh. Menurut Daniel, Mahkamah seharusnya melakukan pendalaman lebih lanjut terhadap perkara tersebut, setidak-tidaknya mendengar keterangan Pemerintah terkait evaluasi pelaksanaan pengisian penjabat kepala daerah setelah Putusan MK Nomor 37/PUU-XX/2022 dan pemaknaan baru terhadap Pasal 201 ayat (5) UU 10/2016 dalam Putusan MK Nomor 143/PUU-XXI/2023.
Terlebih lagi, Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia telah mengajukan Surat Nomor 100.4.8/875/SJ, tanggal 19 Februari 2024, perihal Permohonan Untuk Menyampaikan Keterangan Pemerintah, yang pada pokoknya memohon kepada Ketua Mahkamah Konstitusi RI agar diberikan kesempatan untuk menyampaikan Keterangan Pemerintah dalam proses persidangan Perkara Nomor 27/PUU-XXII/2024. Oleh karenanya, Daneil berpendapat, Mahkamah semestinya melanjutkan pemeriksaan perkara a quo ke tahap sidang pleno untuk mendapatkan informasi yang lebih komprehensif dan akurat.
Pada sidang terdahulu Rabu (7/2/2024) para Pemohon menyebutkan pasal-pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945. Para Pemohon menilai pembentuk undang-undang tidak memperhitungkan dengan cermat semua implikasi teknis atas pilihan Pilkada Serentak 2024, sehingga berpotensi menghambat pemilihan kepala daerah yang berkualitas.
Sebab, berpedoman dari pengalaman Pemilu Tahun 2019, menunjukkan fakta bahwa terdapat beban tugas penyelenggaraan ad hoc yang tidak rasional dan terlalu berat. Tercatat dalam Pemilu tahun 2019 menewaskan kurang lebih 894 petugas ad hoc dan 5.175 petugas sakit akibat kelelahan.
Sehingga apabila tahapan Pilkada Serentak Nasional 2024 dipaksakan dilaksanakan bersamaan dengan Pilpres dan Pileg 2024, maka hal itu dapat berakibat fatal sebab berpotensi kejadian buruk Pemilu tahun 2019 terulang kembali.
Hal ini berpotensi memunculkan kekacauan teknis yang berimpilikasi pada terlanggarnya ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menjamin perlindungan hukum bagi setiap orang.
Selain itu, para Pemohon berpendapat keserentakan Pilpres, Pileg, dan Pilkada berpotensi terciptanya korupsi yang lebih tinggi, memunculkan gangguan keamanan dan ketertiban yang besar, dan menimbulkan penumpukan hasil sengketa pemilihan umum di MK.
Tak hanya itu, para Pemohon juga berpandangan bahwa pentingnya mengatur kembali jadwal pilkada dengan mempertimbangkan kompleksitas dalam penyelenggaraan pilkada serentak tersebut.
Di samping itu, para Pemohon meminta kepada Mahkamah agar meninjau ulang jadwal penyelenggaraan Pilkada, khususnya terhadap 270 daerah otonomi yang menyelenggarakan Pilkada di tahun 2020. Menurut para Pemohon, berdasarkan pendekatan judicial activism yang dilakukan oleh Mahkamah selama ini, persoalan ini penting untuk diselesaikan, dengan membagi kembali jadwal penyelenggaraan pemilihan secara serentak dengan rincian, 276 daerah tetap menyelenggarakan pemilihan pada November 2024, dengan pertimbangan agar segera terdapat kepala daerah yang definitif hasil pemilihan langsung oleh rakyat, dan 270 daerah hasil pemilihan tahun 2020 dapat menyelenggarakan pemilihan pada bulan Desember 2025
Pada permohonan para Pemohon tidak hanya menyoal masa jabatan yang terpotong, tetapi juga memberikan usulan penataan jadwal Pilkada yang jauh lebih rasional berdasarkan indikator dan prasyarat yang diuraikan MK dalam Putusan MK Nomor 55/PUU-XVII/2019. Dengan digesernya waktu penyelenggaraan pemilihan terhadap 270 kepala daerah menjadi Desember 2025 ini akan mengurangi beban aparat keamanan dalam mengamankan penyelenggaraan pilkada dalam jumlah besar pada waktu yang bersamaan.