“Mustahil seorang Wali Kota dan Kepala Dinas tidak tahu bahwa Pematangsiantar adalah kota budaya Simalungun, sementara kantor mereka sendiri menggunakan arsitektur Simalungun.”
Pematangsiantar|Simantab – Papan bunga, yang biasa menjadi simbol ucapan selamat dan duka, berubah menjadi medium protes di Pematangsiantar.
Lima karangan bunga berjejer di trotoar depan Balai Kota Pematangsiantar pada Senin (1/9/2025). Isinya jauh dari kata selamat, melainkan sindiran keras kepada Wali Kota Pematangsiantar, Wesly Silalahi, terkait dugaan pengabaian terhadap budaya Simalungun.
Aksi ini dimotori oleh Gerakan Kebangkitan Simalungun Bersatu (GKSB), aliansi yang terdiri dari sejumlah organisasi Simalungun, termasuk Ikatan Keluarga Islam (Ikeis), DPP Komite Nasional Simalungun Indonesia (KNPSI), Gerakan Mahasiswa dan Pemuda Simalungun (Gemapsi), dan Bina Daya Sejahtera Simalungun (Bidasesi). Aksi tersebut merupakan lanjutan dari laporan yang telah mereka sampaikan ke DPRD Kota Pematangsiantar sebelumnya.
Ketua Gemapsi, Anthony Damanik, menegaskan bahwa protes ini adalah bentuk keprihatinan atas apa yang mereka sebut sebagai kejahatan budaya yang dilakukan secara sadar oleh Wali Kota.
“Secara historis, Siantar adalah tanah leluhur Simalungun. Jika budaya Simalungun ditiadakan, itu adalah bentuk kejahatan yang dilakukan secara sadar oleh Wali Kota,” ujarnya, Selasa (2/9/2025).
Menurut Anthony, papan bunga hanya langkah awal. Ia mengisyaratkan bahwa aksi lebih besar akan digelar jika tuntutan mereka tidak ditanggapi.
“Gerakan ini permulaan, ke depan kami akan mempersiapkan aksi yang lebih besar,” katanya.
Awal Mula Konflik: Ornamen yang Memantik Amarah
Anthony menjelaskan bahwa konflik ini bermula dari unggahan akun resmi Dinas Pariwisata Pematangsiantar. Dalam unggahan tersebut, backdrop acara “Gempita Kemerdekaan Run Agak Lari Kelen” pada 10 Agustus 2025 menampilkan ornamen dari budaya daerah lain, bukan ornamen khas Simalungun.
Unggahan itu memicu kemarahan sejumlah elemen masyarakat Simalungun yang merasa identitas budaya mereka diabaikan di tanah sendiri.
Aliansi GKSB kemudian melaporkan Wali Kota Wesly Silalahi dan Kepala Dinas Pariwisata Hamam Sholeh ke DPRD Kota Pematangsiantar. Keduanya dituduh melakukan penistaan dan pelecehan terhadap suku Simalungun.
Anthony menilai kejadian ini bukanlah ketidaksengajaan. Menurutnya, ada kesengajaan yang sistematis untuk melemahkan eksistensi etnis Simalungun di Pematangsiantar.
“Mustahil seorang Wali Kota dan Kepala Dinas tidak tahu bahwa Pematangsiantar adalah kota budaya Simalungun, sementara kantor mereka sendiri menggunakan arsitektur Simalungun,” ujarnya.
Bantahan Pemerintah dan Klarifikasi Panitia
Kepala Dinas Pariwisata Hamam Sholeh membantah tuduhan tersebut. Ia menegaskan bahwa pemerintah kota tetap menjunjung tinggi budaya Simalungun.
“Kegiatan Gempita Kemerdekaan Run difasilitasi Pemko Pematangsiantar, namun secara teknis dilaksanakan anak-anak kreatif serta komunitas,” katanya.
Hamam juga menegaskan kegiatan itu tidak menggunakan anggaran dinas, melainkan dari uang pendaftaran peserta dan sumber dana lain.
“Kami selalu menjunjung tinggi budaya Simalungun. Setiap kegiatan kami koordinasikan dengan semua pihak agar seni budaya lokal tetap dikembangkan,” tambahnya.
Ia menyampaikan permohonan maaf atas kegaduhan yang terjadi. Menurutnya, penggunaan ornamen non-Simalungun pada backdrop adalah kesalahan teknis tim kreatif, bukan pelecehan budaya.
“Kami mohon maaf yang sebesar-besarnya. Tidak ada niat melecehkan budaya Simalungun. Ke depan kami akan lebih berhati-hati dan selalu berkoordinasi dengan tokoh adat serta budaya,” ujarnya.
Tuntutan Tak Surut
Meski permintaan maaf sudah disampaikan, GKSB menilai hal itu tidak cukup. Mereka menuntut DPRD membentuk panitia khusus (pansus) serta memberhentikan Wali Kota dan Kepala Dinas Pariwisata.
Laporan mereka juga mendapat dukungan dari Organisasi Pemangku Adat dan Cendekiawan Simalungun (PACS). Kini, persoalan tersebut menjadi bola panas di DPRD.
“Pertanyaannya, apakah ini benar-benar kelalaian atau kesengajaan sistematis? Kami menunggu bagaimana DPRD menyikapi tuntutan ini,” tandas Anthony.(Putra Purba)