Jakarta – Pegiat media sosial Teddy Gusnaidi menyebut mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) seorang buzzer. SBY kerap melontarkan pernyataan dan pandangan politik di media sosial.
Lewat akun Twitter @TeddyGusnaidi, eks dewan pakar PKPI itu mengatakan SBY disebut sebagai buzzer karena pengertian buzzer sendiri adalah pendengung. SBY kata dia kerap mendengungkan informasi dan pendapat melalui media sosial.
“SBY adalah buzzer. Tenang jangan marah-marah dulu, tentu saya menyebutkan SBY adalah buzzer bukan tanpa alasan. Karena buzzer itu artinya pendengung. SBY mendengungkan informasi dan pendapat melalui media sosial, maka SBY adalah buzzer,” tulisnya, dilihat Senin, 2 Agustus 2021.
“Ketika SBY menyebarkan informasi dan pendapat di media sosial maka beliau adalah buzzer. Makanya saya heran ketika orang-orang Partai Demokrat sibuk menuding buzzer. Itu sama saja mereka menuding SBY dan menuding diri mereka sendiri. Buzzer kok teriak buzzer?’ tukasnya.
Disebutnya lagi, SBY punya kepentingan di media sosial, begitupun yang lain. Ketika ada pendengung mendengungkan tentang hal positif dari pemerintah, maka buzzer yang tidak mendukung pemerintah mendengungkan informasi berbeda, sehingga terjadi perdebatan antar buzzer.
Saya tidak pernah menuduh itu buzzer Demokrat atau bayaran Demokrat, karena tidak ada bukti
Teddy menyebut, setiap orang punya kepentingan sebagai pendengung di media sosial. Ada yang mendengungkan tentang politik, produk, karya musik, film dan sebagainya. Konten yang dibuat beragam dan tentu kepentingannya agar dilihat pendengung yang lain di media sosial.
“Dalam diskusi di sebuah TV Swasta nasional, saya mencecar Budi Setyarso, Pemred Media Tempo terkait buzzer Pemerintah. Beliau tdk mampu menjelaskan dan membuktikan soal itu dalam opini yg telah dirilis Tempo. Saya saat itu sangat menyayangkan media sebesar tempo melakukan hal tsb,” ujarnya.
Dalam diskusi tersebut, Teddy juga mengatakan bahwa kita semua sedang membicarakan diri sendiri, karena kita semua yang ada dalam ruangan diskusi tersebut adalah buzzer. Tidak ada satupun di ruangan itu yang membantah hal tersebut, karena memang kita semua adalah pendengung.
Itu sebabnya, kata dia, buzzer dari Partai Demokrat atau pendukung Partai Demokrat punya opini sendiri. Buzzer yang lain punya opini lain juga sehingga beradu opini, bahkan akhirnya ada yang sampai saling menghujat dalam adu opini.
“Jadi aneh saja jika buzzer demokrat misalnya menuding orang lain adalah buzzer,” tukasnya.
“Soal apakah buzzer Partai Demokrat atau pendukungnya dibayar atau tidak, itu saya tidak tahu, tidak boleh juga menuduh tanpa ada bukti, sama seperti Media Tempo membuat opini soal buzzer pemerintah tapi tidak bisa mereka buktikan opini mereka tersebut,” katanya.
Teddy mengaku, sering ketika habis mengomentari statement para tokoh Partai Demokrat, di jam tertentu tiba-tiba secara berjamaah menyerang dirinya di media sosial dan selesainya pun secara berjamaah.
“Saya tidak pernah menuduh itu buzzer Demokrat atau bayaran Demokrat, karena tidak ada bukti,” ungkapnya lagi. “Saya jadi ingat ada peribahasa maling teriak maling. (Jangan diframing bahwa saya mengatakan Demokrat maling ya..), sama seperti saat ini buzzer teriak buzzer. Atau pinjam pernyataan SBY, sesama bus kota jangan saling mendahului. Toh sesama bus ini. Hehehe,” tandas Teddy dalam cuitannya. []