Pemangkasan TKD menuntut Pemko untuk lebih kreatif mengelola anggaran. Program non-prioritas kemungkinan akan dipangkas, sementara program strategis dan janji kepala daerah akan tetap dijalankan.
Pematangsiantar|Simantab – Wacana pemangkasan Dana Transfer ke Daerah (TKD) dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026 sebesar Rp269 triliun dari alokasi 2025 menimbulkan kekhawatiran di banyak daerah. Kebijakan ini diprediksi akan menguji ketahanan fiskal pemerintah daerah, termasuk Pemerintah Kota Pematangsiantar.
Kepala Badan Pengelolaan Keuangan dan Pendapatan Daerah (BPKPD) Kota Pematangsiantar, Arrie S. Sembiring, mengatakan pihaknya belum menerima dokumen resmi terkait kebijakan itu dari pemerintah pusat. Namun, langkah antisipasi sudah mulai dilakukan dengan menekan pengeluaran dan menjalankan efisiensi sesuai arahan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025.
“Begitu dokumen resmi diterima, kami akan sesuaikan kebijakan daerah dengan arahan pusat,” ujarnya, Jumat (22/8/2025).
Menurut Arrie, pemangkasan TKD menuntut Pemko untuk lebih kreatif mengelola anggaran. Program non-prioritas kemungkinan akan dipangkas, sementara program strategis dan janji kepala daerah akan tetap dijalankan. Data BPKPD mencatat, pendapatan transfer pusat untuk Pematangsiantar pada 2024 mencapai Rp767 miliar dan meningkat menjadi Rp796 miliar di 2025.
Namun, dalam rancangan KUA-PPAS APBD 2026, diproyeksikan defisit Rp40 miliar. Defisit itu rencananya ditutup dengan pembiayaan daerah agar APBD tetap seimbang.
Perubahan mekanisme penyaluran dana juga menuai perhatian legislatif. Wakil Ketua I DPRD Pematangsiantar, Daud Simanjuntak, menilai pergeseran dana dari TKD menjadi Bantuan Presiden (Banpres) dan Instruksi Presiden (Inpres) bukan berarti sentralisasi fiskal.
“Program tetap ada, hanya skemanya yang berubah,” katanya. Menurutnya, kepala daerah tetap dilibatkan dalam usulan program sehingga daerah tidak kehilangan ruang. Namun, ia menekankan pentingnya skema alternatif yang adil agar pembangunan daerah tidak terganggu. “Belanja negara harus produktif, merata, dan berpihak pada kesejahteraan rakyat,” tambahnya.
Pandangan berbeda datang dari kalangan ekonom. Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, menyebut pemangkasan TKD bisa memperburuk ketahanan fiskal daerah. Ia menilai, kebijakan itu berisiko menimbulkan sentralisasi terselubung karena daerah kehilangan fleksibilitas.
“Yang harus dievaluasi justru belanja pemerintah pusat, bukan menekan daerah,” ujarnya.
Bhima juga khawatir pemda akan mengompensasi dengan menaikkan pajak dan retribusi, yang ujungnya membebani masyarakat. Meski daerah punya potensi ekonomi, menurutnya hal itu tidak bisa langsung menutup defisit akibat pemotongan.
“Potensi memang ada, tapi butuh waktu untuk memberi dampak signifikan,” jelasnya. Ia menekankan, Banpres dan Inpres belum tentu mampu menggantikan peran TKD yang selama ini menjadi tulang punggung pembangunan daerah. “Di balik angka triliunan rupiah yang dipangkas, ada masa depan pembangunan dan kesejahteraan rakyat yang dipertaruhkan,” tandasnya.(Putra Purba)