Pembahasan R-APBD 2026 di Pematangsiantar kembali menuai kritik karena berlangsung kilat di tengah pemotongan dana pusat dan lemahnya fondasi perencanaan. DPRD menyoroti stagnasi kinerja dan absennya Wali Kota dalam forum penting.
Pematangsiantar|Simantab – Rapat Paripurna DPRD Kota Pematangsiantar, Kamis (20/11/2025), kembali membuka fase krusial penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (R-APBD) Tahun Anggaran 2026. Wakil Wali Kota Herlina menyampaikan Pengantar Nota Keuangan, menandai dimulainya proses yang harus selesai dalam batas waktu ketat sesuai Permendagri Nomor 84 Tahun 2023: paling lambat 30 hari sebelum tahun anggaran berjalan.
Namun pembahasan yang berlangsung cepat kembali memicu pertanyaan publik. Dokumen ribuan halaman yang menentukan arah pembangunan kota dinilai mustahil ditelaah mendalam hanya dalam hitungan belasan hari, terlebih ketika kinerja setahun pemerintahan Wali Kota Wesly Silalahi belum menunjukkan capaian signifikan. Banyak program dinilai stagnan dan belum menghasilkan dampak nyata.
Pembahasan Singkat, Risiko Perencanaan Dangkal
Wakil Ketua Komisi II DPRD, Aprial M. R. Ginting, menyebut penyusunan APBD membutuhkan waktu dan ketelitian layaknya merancang sebuah rumah. Menurutnya, desain yang dipaksakan selesai dalam satu hingga dua minggu tidak mungkin menghasilkan perencanaan yang kokoh.
“Tidak ada rumah yang dibangun baik jika desainnya dipaksakan selesai satu-dua minggu. APBD jauh lebih kompleks; ini menyangkut hidup 300 ribu lebih warga Siantar,” ujarnya.
Ia menilai pembangunan selama setahun terakhir belum menunjukkan lonjakan berarti. Aspirasi publik belum terjawab, sementara program besar pemerintah masih sebatas rencana. “Kesan yang muncul, Wali Kota lebih banyak bermimpi daripada bekerja,” tambahnya.
Aprial mengingatkan, tanpa perencanaan matang, belanja publik dapat tidak efektif dan gagal menjangkau kelompok yang paling membutuhkan.
Pemotongan Dana Pusat, Prioritas Harus Berubah
Situasi kian menantang setelah pemotongan Dana Transfer ke Daerah (TKD) dari pemerintah pusat hampir mencapai Rp190 miliar. Anggota Komisi III DPRD, Rini Annisa Silalahi, menilai perubahan drastis ini mengharuskan Pemko menata ulang pola pikir perencanaan.
“Setiap rupiah harus diarahkan pada kepentingan yang menyentuh langsung masyarakat, bukan sekadar kegiatan rutin OPD,” tegasnya.
Ia juga mempertanyakan ketidakhadiran Wali Kota Wesly Silalahi dalam rapat pandangan fraksi. Menurutnya, APBD bukan sekadar kegiatan seremonial melainkan forum politik dan moral yang menguji komitmen pemimpin.
“Ini bukan soal seremonial. Kehadiran adalah bentuk keseriusan,” ujarnya.
Pengamat: Masalah Utama Ada pada Fondasi Perencanaan
Pengamat kebijakan publik dari Universitas Sumatera Utara, Tunggul Sihombing, menilai persoalan utamanya bukan pada cepat atau lambatnya pembahasan APBD. Menurutnya, di banyak daerah, pembahasan singkat dapat dilakukan bila dokumen perencanaan seperti RKPD, Musrenbang, hingga KUA–PPAS telah disusun matang sejak awal tahun.
“APBD idealnya hanya memfinalisasi apa yang sudah matang sejak RKPD hingga KUA–PPAS. Jika semua dokumen itu kuat, pembahasan 10–15 hari pun cukup,” ujarnya.
Namun ia melihat kondisi Pematangsiantar justru berbeda. Dokumen perencanaan dinilai lebih mementingkan kelengkapan administrasi ketimbang kebutuhan riil masyarakat sehingga pembahasan APBD berubah menjadi ajang kebingungan.
Ketidakhadiran Wali Kota dalam forum penting juga dianggap menunjukkan manajemen yang terlalu terpusat pada figur, bukan sistem.
Dengan pemotongan TKD, menurut Tunggul, Pemko perlu melakukan stress test fiskal dan menata ulang prioritas berdasarkan prinsip value for money.
“APBD harus menjadi proses rasional yang benar-benar mencerminkan kebutuhan warga,” ujarnya.
Kini, di tengah pembahasan yang berlangsung kilat dan tekanan fiskal yang berat, arah pembangunan Pematangsiantar bergantung pada sejauh mana pemerintah mampu menyusun perencanaan yang matang dan tepat sasaran.(Putra Purba)







