Pembongkaran eks Gedung IV Pasar Horas menjadi langkah efisien Pemko Pematangsiantar menata ulang kawasan perdagangan. Skema tanpa dana tunai dinilai sah, namun tetap perlu pengawasan ketat demi keselamatan dan transparansi publik.
Pematangsiantar|Simantab – Setelah berbulan-bulan terbengkalai di tengah hiruk-pikuk aktivitas Pasar Horas, bangunan tua eks Gedung IV akhirnya resmi dibongkar. Reruntuhan beton kini menggantikan bangunan yang dulu ramai pedagang, menandai awal baru bagi Pemerintah Kota (Pemko) Pematangsiantar dalam menata kembali kawasan pasar tradisional terbesar di kota itu.
Langkah ini sempat menuai keraguan publik karena skema kerja yang tidak lazim. Tidak ada dana proyek yang digelontorkan pemerintah kepada pihak ketiga; sebagai gantinya, pelaksana mendapatkan material bongkaran sebagai kompensasi. Namun di tengah skeptisisme, proyek pembongkaran tersebut berhasil diselesaikan dengan aman.
Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Ruang (PUTR) Kota Pematangsiantar, Sofian Purba, menyebut pelaksanaan pembongkaran dilakukan dengan perencanaan matang serta mengikuti ketentuan teknis.

Menurutnya, Pemko mengutamakan efisiensi dan keselamatan dibanding pola proyek konvensional yang bergantung pada dana besar.
“Ini bukan sekadar proyek pembongkaran biasa. Kami ingin menunjukkan bahwa pemerintah bisa bergerak cepat, hemat anggaran, dan tetap mengedepankan aspek keselamatan,” ujar Sofian, Rabu (8/10/2025).
Ia menambahkan, material bongkaran yang masih bernilai ekonomis cukup untuk menutupi biaya operasional pihak pelaksana.
Perwakilan pihak pelaksana, Herbet A. Hutagalung dari CV Sihujur Jaya, mengakui proyek ini merupakan tantangan tersendiri. Ia menyebut pihaknya lebih dulu menghitung nilai ekonomis material bekas sebelum menyepakati kerja sama dengan Pemko.
“Dari sisi bisnis tentu kami harus menghitung risiko, karena tidak semua material masih bernilai tinggi. Tapi kami juga melihat nilai sosialnya, bagaimana kami bisa ikut berkontribusi dalam penataan kawasan pasar yang sudah lama jadi sorotan warga,” ujar Herbet saat dihubungi.
Ia menambahkan, pembongkaran dilakukan secara bertahap dengan metode pemotongan struktur per bagian, bukan dengan cara merobohkan langsung. Hal itu dilakukan karena lokasi proyek berada di kawasan padat aktivitas.
“Banyak pedagang dan pengunjung di sekitar lokasi. Karena itu kami menggunakan alat berat secara hati-hati dan menyiapkan petugas pengawas agar tidak menimbulkan debu berlebihan maupun puing berbahaya bagi warga,” jelasnya.
Herbet menilai skema kerja sama tanpa uang tunai yang diterapkan pemerintah bisa menjadi model baru jika dilakukan secara transparan dan berdasarkan perhitungan teknis yang akurat.
“Ketika komunikasi antara Pemko dan pelaksana berjalan terbuka, kedua pihak bisa sama-sama diuntungkan. Kami berharap pola ini bisa diterapkan untuk penataan aset tua lainnya,” tambahnya.
Dari sisi lain, Camat Siantar Barat, Herwan AR Manihuruk, memastikan pembongkaran telah disosialisasikan kepada warga sekitar sebelum dimulai.
“Kami sudah melakukan pendekatan sejak awal. Bahkan warga memberikan pernyataan tertulis bahwa mereka tidak keberatan,” ujarnya, Selasa (7/10/2025).
Ia menegaskan, koordinasi lintas instansi terus dijaga agar kegiatan ekonomi masyarakat tidak terganggu.
Skema Tanpa Dana Diperbolehkan, Risiko Tetap Ada
Pengamat teknik konstruksi, Sakti Sihombing, menilai skema kompensasi berupa material bongkaran sah dilakukan, namun tetap memerlukan kehati-hatian tinggi dalam perhitungan nilai dan pelaksanaannya sesuai dengan Perpres Nomor 46 Tahun 2025.
“Walaupun Perpres ini tidak mengatur secara spesifik mekanisme kompensasi berupa material bongkaran sebagai pengganti pembayaran tunai, asalkan ada kajian nilai material yang realistis dan perhitungan risiko yang matang, mekanisme ini bisa diterapkan. Tapi pemerintah harus memastikan tidak ada pihak yang dirugikan, termasuk keuangan daerah,” ujar Sakti saat dihubungi, Rabu (8/10/2025).
Ia menekankan pentingnya audit teknis dan pengawasan independen untuk memastikan seluruh tahapan pembongkaran (mulai dari perencanaan hingga penanganan limbah) dilaksanakan sesuai standar keselamatan.
“Jika suatu pemerintah daerah ingin menerapkan skema semacam itu, ia perlu dasar hukum khusus atau regulasi daerah, seperti perda atau perwal, yang mengatur pemanfaatan aset daerah dan pengelolaan material sisa,” tuturnya.
Menurutnya, bangunan hasil terbakar dan sempat terbengkalai seperti Gedung IV memiliki karakter struktur yang rapuh sehingga harus ditangani oleh tenaga ahli berpengalaman.
Lebih jauh, Sakti menyebut langkah Pemko ini bisa menjadi momentum perubahan dalam pengelolaan aset tak produktif.
“Kalau bisa ditiru di proyek lain tentu baik, tapi jangan sampai dijadikan alasan untuk mengabaikan tanggung jawab pengawasan. Skema tanpa biaya tunai bagus dari sisi efisiensi, namun keselamatan, lingkungan, dan transparansi tetap harus dijaga,” tegasnya.
Kini, di bekas lokasi Gedung IV, alat berat masih bekerja membersihkan sisa material. Pemko berencana menata kawasan tersebut menjadi area pendukung pasar yang lebih terbuka dan ramah pejalan kaki.
“Harapannya, wajah Pasar Horas menjadi lebih tertata, bersih, dan aman bagi masyarakat. Transparansi seperti ini penting agar publik tahu bahwa pembongkaran dilakukan sesuai aturan dan aman bagi lingkungan,” tutup Sakti.
Langkah berani tanpa dana tunai ini memang tidak konvensional, namun menjadi bukti bahwa kreativitas dan kolaborasi masih bisa menjadi solusi di tengah keterbatasan anggaran daerah.(Putra Purba)