Tanpa informasi perusahaan yang patuh dan melanggar, pengawasan menjadi tumpul. Buruh yang mestinya terlindungi melalui UMK semakin rentan menghadapi praktik eksploitasi.
Simalungun|Simantab – Upah Minimum Kabupaten (UMK) Simalungun tahun 2025 resmi ditetapkan sebesar Rp3.088.852 pada akhir 2024. Angka ini seharusnya menjadi jaminan bagi kesejahteraan buruh. Namun, kenyataan di lapangan justru memunculkan ironi. Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Simalungun mengaku tidak memiliki data satu pun perusahaan yang melanggar aturan pembayaran UMK.
Pengakuan itu disampaikan langsung Kepala Disnaker Simalungun, Riando Purba. Ia mengatakan pihaknya belum memiliki catatan perusahaan yang tidak membayar sesuai ketentuan.
“Kami akan mengupayakan pendataan dengan berkoordinasi bersama UPT Wasnaker (Pengawas Tenaga Kerja Provinsi Sumatera Utara) di waktu mendatang,” ujarnya melalui pesan singkat, Senin (25/8/2025).
Pernyataan tersebut terdengar menenangkan, namun tanpa kepastian waktu justru menimbulkan pertanyaan: siapa sebenarnya yang memastikan pelaksanaan UMK di Simalungun?
Pengawasan Tumpul, Buruh Rentan Dieksploitasi
Ketiadaan data bukan sekadar kelemahan administratif. Tanpa informasi perusahaan yang patuh dan melanggar, pengawasan menjadi tumpul. Buruh yang mestinya terlindungi melalui UMK semakin rentan menghadapi praktik eksploitasi.
Riando berusaha memberi penjelasan. Menurutnya, tidak semua unit usaha wajib mengikuti ketentuan UMK. Ia merujuk Pasal 90B Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja yang membebaskan perusahaan mikro dan kecil dari kewajiban tersebut. Dalam aturan itu, upah ditentukan berdasarkan kesepakatan pekerja dan pengusaha dengan acuan konsumsi masyarakat dari data Badan Pusat Statistik (BPS).
“Meskipun ada kelonggaran bagi usaha mikro dan kecil, perlindungan hak-hak pekerja tetap harus dipenuhi. Pemerintah daerah akan mendorong agar pekerja tetap mendapat upah yang layak,” jelasnya.
Namun, celah hukum inilah yang menuai kritik dari banyak pihak.
Serikat Pekerja Desak Disnaker Bertindak
Ketua Pimpinan Cabang Federasi Serikat Pekerja Transport Seluruh Indonesia (FSPTSI) KSPSI Simalungun, Syahrial, menilai pengakuan Disnaker menunjukkan lemahnya komitmen pemerintah daerah.
“Bagaimana mungkin Disnaker melindungi pekerja, sementara data perusahaan yang patuh dan melanggar saja tidak ada? Ini membuka peluang besar bagi pengusaha nakal untuk terus mengeksploitasi buruh,” tegasnya.
Ia juga menolak alasan bahwa pengawasan formal berada di tangan provinsi.
“Disnaker kabupaten harus menjadi mata dan telinga bagi provinsi. Tanpa laporan awal, bagaimana pengawas bisa turun? Jangan biarkan aturan untuk usaha kecil dijadikan tameng perusahaan menengah atau besar,” katanya lantang.
Serikat pekerja pun mendesak langkah konkret, seperti inspeksi mendadak rutin, pembentukan posko pengaduan aktif, hingga publikasi terbuka soal kepatuhan perusahaan terhadap UMK.
Dampak Sistemik Terhadap Ekonomi Lokal
Pengamat ekonomi Darwin Damanik menilai ketidakpatuhan terhadap UMK dapat memicu dampak serius. Menurutnya, hal itu akan mengurangi kesejahteraan pekerja, menurunkan daya beli, dan meningkatkan angka kemiskinan.
“Jika daya beli melemah, pertumbuhan ekonomi lokal ikut terguncang. Pasar tenaga kerja pun bisa tidak stabil,” ujarnya.
Ia menekankan pentingnya kebijakan adil yang melindungi hak pekerja sekaligus menjaga keberlangsungan usaha kecil.
“Perlindungan pekerja harus sejalan dengan dukungan terhadap UMKM, misalnya lewat akses pembiayaan dan pelatihan. Dengan begitu, keduanya bisa tumbuh bersama,” katanya.
Darwin juga menegaskan, pemerintah daerah tetap memiliki tanggung jawab besar. “Mereka wajib memastikan pekerja mendapat perlindungan, upah layak, jaminan sosial, hingga kesempatan pelatihan kerja,” tambahnya.
Jalan Panjang Menuju Keadilan Upah
Kasus di Simalungun menunjukkan persoalan klasik: regulasi ada, tetapi implementasi lemah. UMK yang seharusnya menjadi benteng kesejahteraan buruh justru rawan diabaikan karena minim pengawasan.
Tanpa data, tanpa pengawasan, dan tanpa sikap tegas, buruh Simalungun tetap berada di posisi rentan. Sementara itu, seruan serikat pekerja dan pengamat seolah menjadi alarm bagi pemerintah daerah agar segera mengambil langkah nyata.(Putra Purba)