Pergantian mendadak Plt Asisten I Pemko Pematangsiantar menimbulkan sorotan publik. Di balik SK yang berubah cepat, muncul dugaan kepentingan politik dan tafsir hukum tumpang tindih.
Pematangsiantar|Simantab – Pergantian mendadak jabatan Pelaksana Tugas (Plt) Asisten Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat (Asisten I) di lingkungan Pemerintah Kota (Pemko) Pematangsiantar menuai sorotan publik. Di balik surat keputusan (SK) yang tampak formal, muncul dugaan tarik-menarik kepentingan dan tumpang tindih tafsir hukum.
Pada 2 Oktober 2025, Wali Kota Pematangsiantar menandatangani surat perintah tugas yang menunjuk Ricky ME Damanik, seorang auditor senior di Inspektorat, sebagai Plt Asisten I. Ricky dikenal berpengalaman dengan 19 tahun pengabdian sebagai ASN dan jabatan terakhirnya sebagai auditor madya.
Namun, belum genap sepekan, tepatnya 9 Oktober 2025, jabatan itu dicabut dan digantikan oleh Hamzah Fanshuri Damanik. Pergantian cepat ini memunculkan pertanyaan besar: apa yang salah dan siapa yang diuntungkan?

Ketua LSM Forum13 Indonesia, Syamp Siadari, menilai pencabutan SK Ricky janggal dan berpotensi cacat administrasi. Ia menjelaskan perubahan itu dilakukan tanpa prosedur koordinatif antara Sekretaris Daerah, BKPSDM, dan Inspektorat.
“Tidak ada surat pembatalan resmi dari BKPSDM. SK baru langsung keluar tanpa dasar yang sah,” ujarnya, Kamis (16/10/2025).
Tafsir Regulasi yang Diperdebatkan
Kepala Inspektorat Kota Pematangsiantar, Herry Okstarizal, menyatakan pencabutan jabatan Ricky dilakukan berdasarkan Permenpan RB Nomor 48 Tahun 2022 tentang Jabatan Fungsional Auditor. Dalam pasal 50 disebutkan auditor tidak boleh merangkap jabatan struktural.
Namun, Syamp membantah dasar tersebut. Ia menilai aturan itu sudah tidak berlaku sejak terbitnya Permenpan RB Nomor 1 Tahun 2023 yang mencabut 293 peraturan lama, termasuk Permenpan 48/2022.
“Bahkan dalam Permenpan RB Nomor 22 Tahun 2021, pejabat fungsional madya justru diperbolehkan menjadi pelaksana tugas jabatan struktural. Jadi ini bukan rangkap jabatan,” tegasnya.
Ia menambahkan, Plt tidak menerima dua tunjangan jabatan sehingga tidak melanggar prinsip administrasi kepegawaian.
Malam di Rumah Dinas dan Dugaan Kepentingan
Dugaan permainan jabatan menguat ketika beredar kabar bahwa Sekda Junaedi Sitanggang bersama Ilal Mahdi Nasution, yang disebut bagian dari tim pemenangan kepala daerah saat ini, hadir di rumah dinas wali kota pada malam 8 Oktober 2025 untuk menandatangani SK baru atas nama Hamzah Fanshuri Damanik.
Menurut Syamp, pergantian itu tidak memiliki dasar rekomendasi dari Kemenpan RB.
“Ini bukan soal administrasi semata. Ada indikasi kolaborasi sejumlah pejabat yang menyiapkan formasi jabatan tertentu menjelang lelang jabatan,” katanya.
Bantahan dari Inspektorat
Kepala Inspektorat Herry Okstarizal membantah tudingan konspirasi tersebut.
“Saya tegaskan, tidak ada kepentingan pribadi atau kolusi. Semua usulan dilakukan berdasarkan pertimbangan normatif dan sesuai ketentuan perundang-undangan,” ujarnya, Jumat (17/10/2025).
Ia menegaskan, Inspektorat tidak memiliki kewenangan mencabut atau mengangkat pejabat.
“Kami hanya memberikan rekomendasi tertulis sebagai fungsi pengawasan internal. Keputusan tetap berada di tangan wali kota melalui BKPSDM,” tambahnya.
Pengamat: Bias Regulasi dan Budaya Kekuasaan
Pengamat kebijakan publik dari Universitas Sumatera Utara, Tunggul Sihombing, menilai kisruh ini mencerminkan lemahnya disiplin regulasi dan kuatnya budaya kekuasaan dalam birokrasi daerah.
“Banyak pejabat belum memperbarui pemahaman terhadap regulasi terbaru. Ketika satu aturan dicabut, praktik lama masih dijadikan dasar karena dianggap aman. Ini bukti lemahnya literasi kebijakan publik,” ujarnya.
Menurutnya, persoalan ini tidak hanya soal salah tafsir hukum, tetapi juga adanya politik jabatan dalam birokrasi.
“Selama jabatan struktural dianggap sumber kekuasaan, bukan amanah publik, maka mutasi akan selalu diwarnai aroma kepentingan,” katanya.
Tunggul menilai kasus ini harus menjadi momentum bagi Pemko Pematangsiantar untuk memperkuat transparansi dan sistem merit dalam pengisian jabatan.
“Jika ada keraguan hukum, buka ke publik. Tampilkan surat konsultasi ke Kemenpan RB. Biarkan masyarakat menilai apakah keputusan itu administratif atau politis,” ujarnya.
Lebih dari Sekadar SK
Pergantian jabatan ini tampak sederhana, namun menggambarkan persoalan mendalam dalam tata kelola birokrasi daerah.
“Jika keputusan birokrasi tidak lagi berdasar aturan, tetapi pada siapa yang lebih dekat dengan kekuasaan, maka reformasi ASN di tingkat daerah hanya akan menjadi slogan kosong,” tegas Tunggul.(Putra Purba)