Konflik PKL dengan Pemko Pematangsiantar bukan hal baru. Awal Agustus 2025, puluhan pedagang sempat menghentikan aktivitas selama tiga hari setelah Satpol PP mengeluarkan surat larangan berjualan.
Pematangsiantar|Simantab – Puluhan pedagang kaki lima (PKL) yang sehari-hari berjualan di Jalan Thamrin dan Jalan Imam Bonjol mendatangi Balai Kota Pematangsiantar, Selasa (23/9/2025).
Mereka datang bukan untuk berdagang, melainkan memperjuangkan waktu mereka mencari nafkah.
Seorang pedagang asal Kelurahan Sinaksak, Teresia Sinambela (32), berdiri dengan harapan cemas. Baginya, kebijakan pembatasan jam jualan hanya sampai pukul 07.30 WIB sama saja dengan memangkas napas ekonomi keluarganya.

“Kami minta jam 10 lah, Pak. Jam 8 itu orang masih baru mau belanja, masak kami disuruh tutup jam 8, buka dasar pun belum,” ujarnya dengan nada memohon namun tegas.
Nafas Ekonomi yang Terpangkas
“Buka dasar pun belum”, adalah ungkapan yang sarat makna bagi pedagang kecil. Itu berarti modal harian yang dikeluarkan untuk membeli sayur, ikan, atau kebutuhan dagangan belum kembali.
Bagi Teresia, waktu antara pukul 08.00-10.00 WIB adalah jam emas. Saat itu pegawai kantor mencari sarapan, ibu rumah tangga selesai mengantar anak ke sekolah mulai belanja, dan warga yang baru memulai aktivitas mencari kebutuhan dapur. Menutup lapak pukul 07.30 WIB berarti kehilangan pembeli potensial.
“Jam 7 pagi, kami baru selesai menata dagangan. Kalau setengah 8 sudah harus bubar, apa yang bisa kami bawa pulang untuk anak di rumah?” keluhnya.
Permintaan hingga pukul 10.00 WIB bukan sekadar harapan, melainkan perhitungan realistis antara modal, tenaga, dan tipisnya peluang untung untuk menyambung hidup.
Pemerintah Dihadapkan pada Perda
Sekretaris Daerah Kota Pematangsiantar, Junaedi Sitanggang, duduk berhadapan dengan perwakilan pedagang dalam perundingan.
“Lokasi yang bapak dan ibu gunakan sejatinya bukan tempat yang diperuntukkan untuk berjualan,” ujarnya diplomatis.
Pemko Pematangsiantar menghadapi dilema: menegakkan Perda Nomor 9 Tahun 1992 tentang ketertiban umum, atau memberi ruang bagi warganya mencari penghidupan.
“Bisanya kita tawar-menawar. Gantianlah dulu, kami lah pembelinya. Kalau kami bilang jam 8, kek mana?” kata Junaedi mencoba melunak.
Akhirnya, tercapai kesepakatan. PKL diperbolehkan berjualan hingga pukul 09.00 WIB. Tambahan satu setengah jam itu terasa sangat berharga bagi para pedagang. Namun, toleransi ini diiringi syarat ketat: menjaga kebersihan, menutup lapak tepat waktu, dan tidak menyewakan lapak dengan mengatasnamakan pemko. Pelanggaran bisa berujung pidana.
Pertarungan Lama PKL dan Pemko
Konflik PKL dengan Pemko Pematangsiantar bukan hal baru. Awal Agustus 2025, puluhan pedagang sempat menghentikan aktivitas selama tiga hari setelah Satpol PP mengeluarkan surat larangan berjualan.
Menurut M Nurdin dari Ikatan Pedagang Kaki Lima Siantar (Ipaksi), setidaknya ada 34 PKL yang telah berdagang lebih dari 20 tahun di titik-titik vital, seperti Jalan MH Sitorus dan Lapangan Adam Malik.
Kabid Penegakan Perda Satpol PP, Rahmad Afandi Siregar, menegaskan langkah pemerintah bukan penggusuran, melainkan penataan.
“Kami tidak ingin menggusur, kami ingin menata PKL yang selama ini berusaha,” katanya.
Beberapa aturan sudah disepakati sebelumnya, seperti pembatasan maksimal dua pertiga badan jalan dan larangan usaha permainan. Tujuannya: aktivitas ekonomi PKL tetap berjalan tanpa mengganggu hak pejalan kaki maupun ketertiban umum.
“Kami pedagang pun sadar, bisa berdagang di sini perlu aturan supaya tidak ada yang keberatan, khususnya pengguna jalan,” ujar Nurdin.
Menunggu Aturan Baru
Kini, baik PKL maupun pemerintah menanti lahirnya peraturan daerah baru yang lebih komprehensif.
Menurut Nurdin, perda baru itu harus menata sekaligus melegalkan keberadaan PKL sehingga mereka dapat berkontribusi resmi terhadap pendapatan daerah.
Ia menilai kesepakatan berjualan hingga pukul 09.00 WIB hanyalah solusi sementara. Tambahan 90 menit itu memang jadi napas ekstra, tetapi tidak menyelesaikan akar masalah.
“Daripada kami terus-terusan begini, hari ini boleh besok dilarang, lebih baik ada aturan jelas. Misalnya, tentukan titik mana yang boleh, jam berapa sampai jam berapa, dan berapa retribusi yang bisa kami sumbangkan. Kami siap diatur, bukan digusur,” tandasnya.(Ronal Sibuea)