“Banyak yang tidak dimakan. Bahkan ada satu guru yang akhirnya mengutip nasi sisa untuk dikasih ke ternak. Sayang sekali kalau mubazir.”
Pematangsiantar|Simantab – Harapan akan asupan gizi tambahan bagi pelajar melalui Program Makanan Bergizi Gratis (MBG) di Kota Pematangsiantar seketika sirna di SMA Negeri 1.
Alih-alih menjadi sumber energi untuk belajar, kotak makanan yang dibagikan justru menebar aroma tak sedap. Oleh para siswa disebut bau basi. Hal ini memicu kekecewaan dan pertanyaan besar tentang kualitas pelaksanaan program unggulan pemerintah tersebut.
MP (17) siswi sekolaj itu, membuka kotak makanan MBG dengan ekspektasi sederhana. Namun, yang ia temukan adalah nasi dingin, irisan timun berbau aneh, dan telur yang terlalu asin.

“Saya tetap makan sedikit karena lapar, tapi selebihnya sudah tidak sanggup. Beberapa kawan bahkan sama sekali enggan menyentuh makanannya, lebih memilih menahan lapar,” ujarnya, Rabu (24/9/2025).
Pengakuannya mewakili suara ratusan siswa lainnya. Porsi nasi, telur, tempe, sayur kering, dan sebuah jeruk lebih banyak berakhir di tempat sampah daripada dimakan. Beberapa siswa bahkan tak berani menyentuhnya sama sekali.
“Aromanya menyengat begitu saya cium sebentar, mirip makanan basi. Saya langsung hilang selera dan meninggalkannya,” tambah MPi.
Suara Kritis Orang Tua
Kekecewaan tidak hanya bergaung di kalangan siswa, tetapi juga di antara orang tua yang semula menaruh harapan besar pada program ini. Fander Hutajulu, ayah dari seorang siswi kelas X, tidak bisa menyembunyikan amarahnya.
Baginya, insiden ini bukan sekadar kelalaian, melainkan sebuah pengkhianatan terhadap kepercayaan yang mereka titipkan.
“Jujur saja, hati saya hancur mendengar cerita anak saya. Dia pulang ke rumah dan bercerita- Ayah, makanannya bau aneh, aku tidak berani makan.”
Bayangkan perasaan saya. Anak saya pergi ke sekolah untuk belajar, bukan untuk mempertaruhkan kesehatannya karena makanan yang diduga basi,” ujarnya dengan suara bergetar.
Fander menegaskan bahwa program ini awalnya disambut suka cita, tetapi kenyataan di lapangan berbanding terbalik.
“Program ini tujuannya sangat baik, kami sebagai orang tua tentu mendukung. Tapi kalau pelaksanaannya begini, ini bukan lagi soal gizi, tapi soal keamanan pangan,” katanya.
Ia mempertanyakan siapa yang akan bertanggung jawab apabila anaknya sakit setelah mengonsumsi makanan itu, serta meragukan apakah pemerintah akan hadir untuk mengurusnya. Menurutnya, orang tua tidak butuh janji, melainkan tindakan nyata.
Lebih jauh, Fander menyoroti potensi masalah yang lebih besar di balik insiden ini, yakni kurangnya transparansi dan pengawasan. Ia mempertanyakan proses penunjukan penyedia makanan serta standar kontrol kualitas yang diterapkan.
“Pemerintah harus transparan. Siapa penyedianya? Apakah mereka punya rekam jejak yang baik dalam menyediakan katering skala besar? Bagaimana standar pengawasannya di dapur? Jangan-jangan ini hanya proyek bagi-bagi tanpa memikirkan dampaknya,” tegasnya.
Di akhir perbincangan, Fander menitipkan pesan kepada penanggung jawab program.
“Tolong, jangan main-main dengan kesehatan anak-anak kami. Jika memang belum siap, jangan dipaksakan. Perbaiki dulu sistemnya, pastikan setiap butir nasi yang masuk ke mulut anak-anak aman dan layak. Karena sekali kepercayaan kami hilang, akan sangat sulit membangunnya kembali,” ujarnya.
Sekolah di Posisi Dilematis
Pihak sekolah pun berada dalam posisi sulit. Pelaksana Tugas Kepala SMA Negeri 1 Pematangsiantar, Marudut Sidebang, membenarkan keluhan massal tersebut. Dari total 1.236 porsi yang diterima, sebagian besar tidak tersentuh. Tumpukan makanan sisa menjadi bukti nyata kegagalan distribusi hari itu.
“Banyak yang tidak dimakan. Bahkan ada satu guru yang akhirnya mengutip nasi sisa untuk dikasih ke ternak. Sayang sekali kalau mubazir,” ujarnya.
Marudut menegaskan bahwa sekolah hanya penerima manfaat, namun tidak tinggal diam. Menurutnya, niat baik program ini bisa sia-sia jika kualitas diabaikan. Sebagai langkah tegas, pihak sekolah memutuskan untuk menghentikan sementara penerimaan MBG hingga Jumat (26/9/2025).
“Sampai hari Jumat pemberian makanan MBG dibatalkan. Ini dilakukan untuk memberi waktu bagi penyelenggara melakukan koreksi atas kendala yang terjadi,” jelasnya.
Informasi yang dihimpun menyebutkan, menu makanan disediakan oleh dapur SPPG di Kelurahan Aek Nauli, Kecamatan Siantar Selatan, yang baru beroperasi menyalurkan MBG ke sejumlah sekolah.
Kontras dan Evaluasi
Sementara SMAN 1 dirundung masalah, situasi berbeda terjadi di SMK Trisakti Pematangsiantar. Lina Sinaga, seorang guru di sana, mengatakan bahwa program MBG berjalan tanpa keluhan berarti.
“Anak-anak di sini masih bisa menerima makanannya. Memang menunya sederhana, tapi sejauh ini tidak ada yang mengeluh basi atau berbau,” kata Lina.
Menurutnya, meski menu yang dibagikan tidak selalu sesuai selera, kualitas makanan relatif bisa diterima. Sebagian siswa bahkan merasa terbantu karena tidak perlu repot menyiapkan bekal dari rumah.
“Kami melihat anak-anak tetap memakannya. Malah ada yang bilang senang karena dapat tambahan gizi gratis setiap hari. Jadi sejauh ini program ini masih bermanfaat,” tambahnya.
Perbedaan mencolok ini mengindikasikan bahwa masalah tidak terletak pada konsep program, melainkan pada aspek teknis dari penyedia tertentu.
Menanggapi insiden ini, Koordinator BGN Kota Pematangsiantar, Dian Harahap, mengakui telah menerima laporan dan berjanji melakukan evaluasi menyeluruh.
“Kami terbuka dengan masukan. Yang jelas, standar makanan sehat dan bergizi harus dipenuhi. Tidak boleh ada toleransi terhadap makanan basi,” tegas Dian, Rabu (24/9/2025).
Ia menambahkan, pihaknya akan melakukan pengawasan lebih ketat, mulai dari dapur penyedia hingga distribusi ke sekolah-sekolah.
“Tujuan program ini adalah memastikan anak-anak mendapat asupan gizi yang layak. Kalau ada masalah seperti ini, harus segera diperbaiki supaya tidak terulang,” katanya.
Ujian Pertama Program MBG
Kasus di SMAN 1 Pematangsiantar menjadi peringatan keras. Program MBG yang digadang-gadang sebagai solusi penanganan gizi dan keringanan beban ekonomi keluarga kini dihadapkan pada ujian pertama: memastikan kualitas dan keamanan.
Jika insiden bau basi ini tidak ditangani serius dan transparan, tujuan mulia program tersebut berisiko kandas. Lebih dari sekadar perut lapar, yang dipertaruhkan adalah kepercayaan publik terhadap komitmen pemerintah dalam menjalankan program yang menyentuh langsung kehidupan generasi penerus bangsa.(Putra Purba)