Protes BLT di Pematangsiantar ungkap dugaan ketidaktepatan data penerima dan dorongan evaluasi sistem bansos.
Pematangsiantar|Simantab – Video protes yang diunggah Darma Washinton Munthe di Facebook pekan lalu memicu perhatian luas masyarakat. Unggahan tersebut kembali membuka persoalan klasik: masih ada keluarga miskin yang tidak tersentuh Bantuan Langsung Tunai (BLT), sementara dugaan penerima dari kalangan mampu terus menjadi sorotan publik.
Dalam video berdurasi sekitar dua menit itu, Darma tampak marah karena tidak menerima BLTS Kesra. Ia menyebut tinggal di rumah kontrakan yang memprihatinkan dan bekerja sebagai pengemudi ojek online. Ia menegaskan tidak pernah sekalipun menerima BLT ataupun BLTS Kesra.
“Belum pernah dapat sama sekali. Istri saya sedang hamil tua, katanya ada bantuan untuk ibu hamil. Capek kami mengurus ke sana sini, dioper-oper,” ujarnya di rumahnya, Minggu (23/11/2025).
Darma mengaku sudah mengurus berkas usulan ke RT dan RW, namun belum menerima penjelasan dari kelurahan maupun Dinas Sosial. Ia menyebut kondisi ekonominya tidak menentu. Meski pernah menerima bantuan tali asih dan bantuan pangan beras dari pemerintah kecamatan, ia tetap mempertanyakan mengapa tidak masuk daftar BLTS Kesra.
Setelah video itu viral, Dinas Sosial Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Dinsos P3A) Kota Pematangsiantar bersama Pemerintah Kelurahan Asuhan menggelar mediasi tertutup di kantor kelurahan pada Sabtu 22 November 2025.
Koordinator PKH Dinsos P3A, Rudi Hartono, menanggapi dugaan ketidaktepatan data penerima. Ia tidak menutup kemungkinan adanya persoalan teknis dan menegaskan bahwa proses penetapan penerima BLT tidak sederhana.
“Ada banyak komponen teknis yang harus diverifikasi, jadi tidak bisa langsung disimpulkan seseorang tidak menerima karena kelalaian Dinsos,” ujarnya. Ia menambahkan bahwa data penerima melibatkan kelurahan, kecamatan, hingga RT dan RW. Pihaknya sedang memeriksa apakah nama Darma sudah diinput sesuai prosedur atau belum.
Namun pertanyaan publik tetap menggantung: jika mekanisme berjalan semestinya, mengapa masih ada warga miskin terlewat, sementara rumor penerima dari kalangan mampu terus terdengar?
Pengamat sosial Universitas Sumatera Utara, Agus Suriadi, menyebut kasus ini sebagai gejala sistemik dalam penyaluran bansos. Ia menilai kemungkinan terjadinya inclusion error, yakni penerima dari keluarga mampu, dan exclusion error, yaitu keluarga miskin yang tidak tercatat.
Menurutnya, persoalan bersumber dari empat titik: data, mekanisme, kepentingan lokal, dan desain program. Data penerima yang tidak diperbarui berkala menjadi akar persoalan serius. Banyak keluarga yang sudah sejahtera tetap menerima bansos karena tercatat di basis data lama. Selain itu, fragmentasi data antarinstansi menyebabkan verifikasi silang sulit dilakukan.
Di ruang kosong integrasi itu, ujar Agus, salah sasaran penerima semakin berkembang. Ia juga menyoroti dinamika sosial-politik lokal yang bisa mempengaruhi daftar penerima bantuan, termasuk tekanan dari elite setempat.
Meski demikian, ia menilai kasus Darma harus menjadi momentum evaluasi. Pemerintah Kota Pematangsiantar diminta tidak hanya menyelesaikan satu kasus, tetapi menjadikannya jalan masuk pembenahan sistem secara menyeluruh.
Agus mendorong pembaruan data rutin, integrasi lintas instansi, verifikasi dari berbagai sumber, publikasi daftar penerima per kelurahan, mekanisme keberatan yang ditindaklanjuti, hingga audit independen berkala.
“Jika transparansi dibuka, kontrol sosial bekerja. Dan ketika kontrol sosial bekerja, sistem ikut berubah,” katanya.
Ia menegaskan bahwa kasus Darma mungkin terlihat sederhana, tetapi sesungguhnya membuka persoalan besar tentang fungsi negara dalam memastikan ketepatan sasaran bansos. Pemerintah daerah dinilai perlu berani mengambil langkah radikal, termasuk integrasi data satu pintu, digitalisasi verifikasi, audit sosial, dan kanal keberatan publik yang mudah diakses.(Putra Purba)







