Hilangnya relief Cicak Boraspati di Tugu Boraspati Pematangsiantar dinilai sebagai tanda pudarnya kesadaran budaya masyarakat Simalungun. Simbol warisan leluhur itu kini hanya menyisakan kehampaan dan pertanyaan.
Pematangsiantar|Simantab – Suasana di Simpang Karang Sari Jalan Medan, Kecamatan Siantar Martoba, kini terasa berbeda. Di tugu yang dahulu dikenal sebagai Tugu Boraspati, hanya tersisa relief bambu tanpa sosok Cicak Boraspati yang menjadi simbol Rukun Simalungun Bersatu (RSIB). Patung yang selama ini diyakini sebagai penjaga bumi dan lambang keseimbangan antara manusia dengan alam itu, kini hilang tanpa jejak.
Kehampaan yang tersisa di tempat itu seakan berbicara: bukan sekadar patung yang lenyap, tetapi juga makna budaya yang diwariskan para leluhur. Hilangnya relief Boraspati ni Tano ini menyusul raibnya patung Dayok Mirah tahun lalu. Dua peristiwa serupa membuat warga bertanya-tanya: apakah generasi sekarang mulai menjauh dari simbol warisan budaya mereka sendiri?
Simbol yang Kehilangan Makna
Seniman asal Pematangsiantar, Raminah Garingging, menilai hilangnya dua simbol adat Simalungun itu bukan hanya soal pencurian benda, tetapi tanda melemahnya kesadaran terhadap nilai-nilai budaya.
“Dayok Mirah itu bukan sekadar ayam jantan. Ia lambang wibawa, keberanian, dan semangat hidup,” ujarnya, Minggu (9/11/2025).
Menurutnya, dalam sejarah kerajaan Siantar, ayam jantan melambangkan kesiagaan raja. Tradisi Dayok Binatur, sajian ayam jantan khas Simalungun, menjadi simbol keberuntungan dan kerja keras. “Patung Dayok Mirah mengingatkan masyarakat agar tidak malas,” katanya.
Ia juga menjelaskan, ukiran Cicak Boraspati atau gorga boraspati melambangkan kebijaksanaan, kekayaan, dan keramahan. “Cicak bisa hidup di mana saja. Ia simbol kemampuan beradaptasi dan kecerdikan. Saat terancam, ia bisa melepas ekornya demi bertahan hidup. Itulah filosofi hidup orang Simalungun,” ucapnya.
Bagi Raminah, hilangnya dua simbol ini menunjukkan bahwa masyarakat modern kian jauh dari akar budayanya. “Lihatlah Dayok Mirah dan Cicak Boraspati. Di situ ada ajaran untuk hidup selaras dengan alam, bekerja keras, dan saling menghormati. Sekarang maknanya hilang bahkan sebelum patungnya raib,” tambahnya.
Pertanda Disharmoni
Pandangan senada disampaikan Nita Damanik, seorang ahli spiritual di Pematangsiantar. Ia menilai hilangnya relief Cicak Boraspati bukan sekadar perbuatan kriminal, melainkan isyarat bahwa tatanan budaya Simalungun sedang terguncang.
“Itu bukan diambil orang yang mengerti maknanya. Tapi tindakan itu tanda adat Simalungun sedang tidak baik-baik saja,” katanya.
Nita menyebut istilah “layas” untuk menggambarkan sikap abai terhadap nilai-nilai leluhur. “Kalau orang masih hormat pada budayanya, hal begini takkan terjadi. Ini pertanda bahwa kita mulai tak peduli. Di mulut bilang satu suku, tapi di hati sudah terpisah,” ujarnya.
Ia menilai hilangnya simbol budaya mencerminkan krisis moral di tengah masyarakat modern yang makin individualistis. “Ketika budaya tak dijaga, keseimbangan ikut hilang. Bahkan kejujuran dan rasa hormat pun luntur,” tuturnya.
“Yang di pemerintahan pun banyak yang tak jujur. Kalau manusia sudah tak menghormati nilai-nilai luhur, alam pun kehilangan keseimbangannya,” tambahnya.
Penyelidikan Masih Terhambat
Kapolsek Siantar Martoba, Martua Manik, membenarkan hilangnya patung cicak di Tugu Boraspati. Namun, penyelidikan terkendala karena tidak adanya CCTV di sekitar lokasi.
“Benar, di area tugu itu tidak ada kamera pengawas atau pos keamanan. Kami sudah turun ke lapangan, tapi belum ada saksi yang melihat langsung,” jelasnya.
Martua mengimbau masyarakat turut menjaga aset dan simbol budaya kota. “Ini bukan hanya soal nilai material, tapi simbol identitas daerah yang seharusnya dijaga bersama,” katanya.(Putra Purba)







