Fenomena Rojali dan Rohana kini menjadi refleksi lebih besar: tentang bagaimana masyarakat menyikapi cuaca ekstrem dan bagaimana dunia usaha harus beradaptasi.
Pematangsiantar|Simantab – Di siang yang menyengat di Kota Pematangsiantar, langkah-langkah kecil Nadira dan kedua anaknya menyusuri lantai dingin Suzuya Merdeka Mall. Bukan untuk berbelanja atau mencari diskon, tapi sekadar mencari sedikit kesejukan yang tidak mereka temukan di rumah.
“Kalau siang itu panas sekali, ya. Jadi daripada di rumah gerah, mending ke mal sebentar sama anak-anak. Cuma lihat-lihat saja kok, kadang kalau ada yang menarik baru dilirik-lirik,” ujarnya sambil tersenyum.
Fenomena ini bukan milik Nadira seorang. Banyak warga melakukan hal serupa, dan dari kebiasaan itulah lahir istilah “Rojali” (Rombongan Jarang Beli) dan “Rohana” (Rombongan Hanya Nanya). Sebuah ironi: pusat perbelanjaan ramai, namun transaksi lesu.
Pantauan Tim Simantab, beberapa mal dan supermarket di Pematangsiantar terlihat padat pengunjung terutama di siang hari. Tapi jika ditelisik lebih jauh, keramaian itu tidak selalu berarti keuntungan bagi pedagang.
Nadira, warga Kecamatan Siantar Martoba, mengakui kunjungannya ke mal lebih sebagai pelarian dari cuaca, bukan dorongan konsumsi. Mal baginya adalah tempat sejuk, aman, dan menyenangkan untuk anak-anak. Kadang mereka sekadar melihat mainan, mencoba kursi pijat gratis, atau hanya menikmati semangkuk es krim.
“Kita juga bisa bandingkan harga, lihat barang-barang terbaru, jadi tahu tren. Tapi beli itu urusan nanti, tergantung isi dompet juga,” tambahnya pelan.
Namun dari sisi lain, para pelaku usaha merasakan tantangan yang tidak ringan. Wintha Purba, manajer brand skincare Gently di Kota Pematangsiantar, mengungkapkan rasa khawatirnya terhadap tren pengunjung yang tinggi namun penjualan yang stagnan.
“Mal memang ramai, tapi kalau yang datang hanya untuk numpang adem atau sekadar melihat-lihat, ya omzet kami jelas terdampak. Kadang satu hari penuh, hanya sedikit yang benar-benar belanja,” katanya dengan nada jujur.
Bagi Wintha, jumlah pengunjung yang tinggi namun tidak sebanding dengan transaksi bisa menyesatkan dalam menyusun strategi bisnis. Ia mencontohkan, jumlah pengunjung yang tinggi bisa saja memberi harapan palsu saat menyusun stok atau menilai performa outlet.
“Kami bisa saja salah menilai. Kelihatannya ramai, tapi nyatanya konversi belinya rendah. Ini tentu berdampak ke cara kami menyusun stok, menempatkan staf, bahkan merancang program promosi,” jelasnya.
Untuk menyiasati hal ini, tim Gently mencoba pendekatan baru. Mereka tak hanya menunggu pelanggan datang, tapi juga aktif menawarkan konsultasi kulit gratis, membagikan sampel, dan memberikan pengalaman langsung menggunakan produk.
“Kami harus buat pengunjung merasa mereka mendapatkan sesuatu, walau hanya datang tanpa niat belanja. Mungkin hari ini belum beli, tapi minggu depan bisa kembali,” ucapnya penuh harap.
Fenomena Rojali dan Rohana kini menjadi refleksi lebih besar: tentang bagaimana masyarakat menyikapi cuaca ekstrem dan bagaimana dunia usaha harus beradaptasi. Di tengah gerah yang belum reda, mal bukan lagi hanya tempat jual beli, tapi juga ruang sosial dan pelarian dari realita harian yang kian panas—secara harfiah dan ekonomis.(putra purba)