Sejumlah Kades di Simalungun Inginkan Ganti Bupati

Sejumlah Kades
Tiga Kepala Desa dari Simalungun ngopi bareng: Suhardi, Rudianto Damanik dan Tumpal Sitorus.(foto:mahadi sitanggang)

Pematangsiantar – Malam itu, Selasa (22/10/2024), Cafe Kok Tong Kompleks Megaland Jl Asahan Pematangsiantar, tidak begitu riuh. Di meja belakang barisan kiri terlihat eks komisioner KPU Sumut, asyik berbincang ringan dengan tiga orang temannya. Beradu mata dengan kami, dia melambaikan tangan untuk ikut bergabung.

Di meja depan, tepatnya diteras cafe itu, ada tiga orang beda usia asyik menikmati isi cangkir. Dilihat dari keakraban mereka, sepertinya warga berkulit putih terang suku Tionghoa itu adalah satu keluarga.  Tak berapa lama, satu unit mobil mendekat. Bunyi klaksonnya membuat ketiga orang tadi beralih ke satu arah. Dari cara mereka mengenal suara klakson itu, persis, mereka sangat dekat.

Seorang pria bergegas turun, bergabung dengan mereka. Mereka tampak gembira. Tertawa kecil. Tertahan. Seakan menjaga perasaan pelanggan lain di cafe itu. Tapi, ada gelak tawa pecah. Datang dari barisan meja belakang sebelah kanan.

“Sudah bosanlah kita dengan tekanan-tekananya selama ini. Tidak sulit untuk memili karena cuma ada dua pilihan. Aku sudah sepakat dengan wargaku untuk mengganti bupati sekarang. Cukuplah sudah dengan kebohongan-kebohongannya selama ini,”

Kalimat dengan nada tinggi itu menarik perhatian seisi cafe, termasuk kami yang kebetulan menikmati secangkir kopi di sana. Aku serta teman dari Tribun dan Mistar, tertarik untuk ikut nimbrung. Obrolan politik tentang Pilkada Simalungun itu ternyata datang dari sejumlah Kepala Desa daerah Simalungun. Mereka senang sejumlah wartawan ikut bergabung.

Hal pertama yang disampaikan para Kepala Desa itu, terkait kegiatan gotong-royong atau yang dikenalkan Bupati Simalungun Radiapoh Hasiholan Sinaga dengan Marharoan Bolon.

“Tidak ada Marharoan Bolon itu diatur dalam regulasi anggaran pemerintah. Kalau di masa penjajahan Belanda, bisalah itu gotong-royong karena waktu itu belum ada negara. Jadi apa gunanya negara kalau masih tetap masyarakat terbebani dengan gotong-royong. Saya termasuk yang paling tidak sepaham dengan sistem pemerintahan di Simalungun saat ini. Jika dikaitkan dengan Pilkada Simalungun saat ini, saya tidak sependapat dengan Petahan, RHS,” ujar Tumpal Sitorus kepada wartawan.

Pangulu Rambung Merah Kecamatan Siantar Kabupaten Simalungun itu dengan berani mengungkapkan. Di masa injury time Pilkada Simalungun ini, tidak sedikit Kepala Nagori (Kepala Desa) sudah diperiksa Inspektorat bahkan sampai ke Unit Tipikor Polres Simalungun.

“Kalau bicara kinerja kami sebenarnya kurang sreg ya. Kenapa di ajang Pilkada ini kami diperiksa Inspektorat. Bahasa pasarannya, mereka seperti mangogapi,” cetus Tumpal seraya mengaku seperti tak dilindungi kepala daerah sendiri.

Kepada Desa dengan penduduk sekira 6800 jiwa itu mengatakan, sering ada titipan dari instansi lebih tinggi di Pemkab Simalungun dalam membuat Rancangan Anggaran Biaya (RAB), sampai penunjukan rekanan yang mengerjakan. Semua itu dilakukan tanpa melibatkan kepala desa.

Hampir senada, nada yang penuh kekecewaan juga disampaikan Rudianto Damanik, Pangulu Lestari Indah, Kecamatan Siantar. Dia mengaku gerah dengan situasi politik yang ada di Kabupaten Simalungun, yang mengaku-ngaku telah berhasil.

“Kalau kita lihat sebenarnya yang berpolitik itu tidak perlu begitu, masyarakat sudah tahu. Kalau soal kekurangan, semua ada kekurangan. Pengalaman yang lalu tentu ada yang berhasil tapi diserang, sekarang juga ada yang berhasil tapi ada juga yang kurang,” kata Rudianto.

Rudianto menyebut tak elok bila pemimpin saat ini menyalahkan pemimpin sebelum-sebelumnya. Yang terpenting baginya, sebagai pemimpin di desa yang sangat kecil, ia sendiri merasa daerahnya harus diberdayakan oleh siapapun orangnya.

“Pemkab Simalungun tidak duduk bersama dengan desanya. Saya Pangulu di Nagori Lestari Indah, saya katakan yang baik tetap yang baik. Jangan bilang yang dulu tidak memberikan kemajuan dan pembangunan. Tetap ada ya,” katanya.

“Alasan saya mendukung pasangan nomor 02 (Anton – Benny): pertama, kami sangat mengenal keluarga  JR Saragih. Di zamannya, Undang-Undang Pemerintahan Nagori itu aktif, dibuktikan dengan adanya 3 kepala seksi setiap desa. Kami berharap bisa bekerja kondusif dan jangan ada tekan-tekanan seperti saat ini,” sambungnya.

Sebagai Kepala Desa, (Pangulu Nagori) sebagai Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), ujar Rudianto, harusnya menjadi kewenangannya mengurus rumah tangga sendiri. Faktanya, mereka selalu mendapat intervensi instansi atasan.

“Banyak titipan proyek. Semua diintervensi. Satu sisi ini buah simalakama untuk kami. Kamikan punya atasan, kami punya camat. Kami selalu dikasih rekomendasi untuk mengerjakan yang sini ke sana. Radiapoh lebih percaya dengan kadis-kadisnya daripada kami yang di bawah,” ujar Rudianto.

Ungkapan kekecewaan seperti dua Kepala Desa di atas, juga disampaikan Suhardi Pangulu Dolok Hataran, Kecamatan Siantar. Sebagai Kepala Desa sejak tahun 2007, dia paham betul harus memilih sosok yang berkompeten.

“Kalau saya langsung melihat masyarakat kami di bawah, mereka itu memilih 02. Walaupun tentu ada yang ke 01. Ya kalau saya itu ke 02. Jujur saya bilang selama bupati sekarang dibanding sama JR dulu, ya lebih baik di zaman JR Saragih walau saya pernah bertentangan dengannya. Semua orang tahu itu. Kalau sekarang ini, ada Bupati Bayangan,” ujar kepala desa yang di daerahnya tercatat memiliki 3379 Daftar Pemilih Tetap dan 80% sepakat memilih pasangan No 2, Anton/Benny.

Jarum jam perlahan bergerak ke angka lebih besar. Gelak tawa dan canda semakin riuh. Di tiap meja, mulai larut dalam diskusi masing-masing walau sesekali tetap terdengar dengan lantang Yel Yel: Gantikan Bupati, Anton/Benny menang.

 

Iklan RS Efarina