Kebijakan meliburkan sekolah di tengah situasi darurat, di satu sisi ada kebutuhan untuk menjaga keselamatan siswa. Namun di sisi lain, ada kritik terkait efektivitas dan dampak jangka panjang terhadap pendidikan.
Pematangsiantar|Simantab – Kekhawatiran akan potensi demonstrasi besar di Kota Pematangsiantar pada Senin (1/9/2025) berdampak langsung pada dunia pendidikan.
Pemerintah Kota Pematangsiantar melalui Dinas Pendidikan mengambil langkah drastis dengan meliburkan sebagian besar sekolah. Sebagai gantinya, para siswa diminta mengikuti pembelajaran jarak jauh (PJJ).
Kepala Dinas Pendidikan Pematangsiantar, Hamdani Lubis, membenarkan bahwa imbauan meliburkan sekolah telah disebarkan melalui pesan berantai WhatsApp.
“Anak-anak didik kita diarahkan untuk belajar secara daring,” ujarnya saat dikonfirmasi.
Hamdani menjelaskan, kebijakan ini ditempuh demi menjaga keamanan siswa, guru, dan tenaga kependidikan. Arahan dikeluarkan setelah mempertimbangkan situasi keamanan serta rencana aksi demonstrasi yang melibatkan sejumlah organisasi mahasiswa Cipayung dan pengemudi ojek online.
Pihak dinas juga meminta guru untuk memberikan arahan kepada murid mengenai materi serta teknis pelaksanaan PJJ agar kegiatan belajar tetap berjalan.
Sekolah Ambil Sikap Berbeda
Meski mayoritas sekolah mengikuti kebijakan tersebut, ada juga yang memilih langkah berbeda. Kepala SMP Swasta Cinta Rakyat 3, Elisabeth Sulistina Gultom, menyatakan sekolahnya tetap menjalankan kegiatan belajar mengajar secara normal.
“Kami tetap masuk sekolah. Lokasi kami jauh dari titik demonstrasi, jadi tidak merasa perlu meliburkan,” ujarnya.
Menurut Elisabeth, keputusan itu lebih realistis karena mempertimbangkan kondisi lapangan. Ia menekankan bahwa tidak semua sekolah berada dalam posisi yang sama, sehingga kebijakan seragam belum tentu tepat.
“Jarak sekolah dari pusat keramaian atau titik demo menjadi faktor penentu. Kami berupaya memastikan pembelajaran tetap berjalan efektif tanpa gangguan kekhawatiran yang sebenarnya tidak berdampak langsung pada lingkungan sekolah,” tambahnya.
Pihaknya menilai, jika tidak ada ancaman nyata, meliburkan siswa justru akan mengorbankan waktu belajar.
Kebijakan Terlalu Pukul Rata
Langkah Pemko Pematangsiantar meliburkan sekolah secara serentak menuai kritik dari pengamat pendidikan, Muhammad Rizal Hasibuan. Ia menilai kebijakan ini terlalu terburu-buru dan bersifat pukul rata.
“Jika fondasi pendidikan mudah goyah hanya karena kekhawatiran sesaat, bagaimana dengan kualitas pendidikan kita?” tegasnya.
Menurut Rizal, pemerintah daerah seharusnya lebih kreatif. Meliburkan sekolah mestinya bukan solusi pertama, melainkan pilihan terakhir. Ia justru mengapresiasi langkah sekolah yang tetap menjalankan pembelajaran tatap muka sesuai kondisi masing-masing.
Sebagai alternatif, Rizal menyarankan penerapan sistem pembelajaran hibrida. Siswa yang berada di area rawan bisa belajar secara daring, sementara mereka yang di kawasan aman tetap bisa mengikuti tatap muka.
Selain itu, komunikasi intensif dengan aparat keamanan dinilai penting agar pemerintah mendapat informasi akurat sebelum mengambil keputusan. “Pemerintah juga perlu memberi ruang bagi kepala sekolah untuk menilai situasi di lingkungannya sendiri,” ujarnya.
Rizal mengingatkan bahwa penerapan PJJ tanpa persiapan matang bisa menimbulkan masalah baru, seperti kesenjangan akses teknologi dan menurunnya kualitas pembelajaran.
“Libur sekolah seharusnya opsi terakhir, bukan yang pertama,” tandasnya.
Dilema Antara Kehati-hatian dan Efektivitas
Kebijakan meliburkan sekolah di tengah situasi darurat memang menyimpan dilema. Di satu sisi, ada kebutuhan untuk menjaga keselamatan siswa. Namun di sisi lain, ada kritik terkait efektivitas dan dampak jangka panjang terhadap pendidikan.
Kasus ini sekaligus memperlihatkan tantangan pemerintah daerah dalam menyeimbangkan antara aspek keamanan dengan keberlangsungan proses belajar mengajar. Pertanyaannya, apakah kebijakan meliburkan sekolah benar-benar langkah protektif atau justru menunjukkan kegagalan dalam mengelola situasi dengan bijak?(Putra Purba)