Medan – Koordinator Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari) Made Ali menyebut bahwa seluruh lahan konsesi PT Toba Pulp Lestari (TPL) yang berada di Sumatra Utara adalah ilegal. Tidak ada pengukuhan kawasan hutan sebelumnya dilakukan di wilayah adat di mana TPL mendapatkan konsesi.
Made Ali dalam keterangan pers bersama Koalisi Advokasi Rimba Rakyat (KOARR) Sumatra terkait temuan investigasi pihaknya bersama sejumlah lembaga, menyebut luas konsesi TPL adalah 188.055 hektare (Ha).
Luasan itu berada di lima area, yakni Hutan Lindung (HL) seluas 11.582,22 Ha; Hutan Produksi Tetap (HPT) seluas 122.368,91 Ha; Hutan Produksi Terbatas (HPT) seluas 12.017,43 Ha; Hutan Produksi yang Dapat Dikonversi (HPK) 1,9 Ha; dan Areal Penggunaan Lain (APL) seluas 21.917,59 Ha.
Menurut Made Ali, setelah terbitnya Undang-undang Cipta Kerja Nomor 11 Tahun 2020, TPL hanya boleh beroperasi di Hutan Produksi Tetap dan Hutan Produksi Terbatas. Sedangkan di tiga area lainnya, yakni Hutan Lindung (HL), Hutan Produksi yang Dapat Dikonversi (HPK) dan Area Penggunaan Lain (APL) tidak boleh.
“Karena melanggar hukum administrasi sektor kehutanan. Karena peruntukan untuk HL, HPK, dan APK tidak ditanami atau tidak boleh untuk perizinan hutan tanaman industri, salah satunya,” terang Made Ali, Rabu, 14 Juli 2021.
Made Ali kemudian membeber, sebelum UU Cipta Kerja terbit, ternyata dari 188.055 Ha konsesi TPL, seluas 75,26 persen atau 141.537 Ha di antaranya ilegal karena tidak sesuai peruntukannya, yakni berada di Hutan Produksi Terbatas, Hutan Lindung, HPK dan APL.
Intinya adalah konsesi TPL itu, mau yang ilegal atau yang legal, kedua-duanya ilegal
Dalam aturan kehutanan Hutan Produksi Terbatas itu, kata Made Ali, digunakan untuk fungsi hutan alam dan bukan untuk izin HTI. Demikian juga di Hutan Lindung, APL, dan HPK yang ini peruntukannya pembangunan di luar kehutanan.
“Jadi sebelum UU Cipta Kerja, seluas 75 persen areal konsesi TPL ilegal,” tukasnya.
Kemudian setelah terbitnya UU Cipta kerja, 28 persen atau 52.668, 66 Ha areal TPL saat ini ilegal. Karena berada di Hutan Lindung, Hutan Produksi yang Dapat Dikonversi dan di Areal Penggunaan Lain.
Dalam UU Cipta kerja dan produk hukum turunannya, PP 23 Tahun 2021 dan Permen LHK Nomor 8 dan 9 Tahun 2021, ternyata Hutan Produksi Terbatas dilebur menjadi Hutan Produksi Tetap, sehingga saat ini hanya ada dua, yakni Hutan Produksi Tetap dan Hutan Produksi yang Dapat Dikonversi.
Made Ali menegaskan, yang ilegal-ilegal ini melanggar UU Kehutanan, UU Cipta Kerja dan UU Agraria. Pelanggaran hukumnya berupa pidana dan administrasi, yakni berupa pencabutan izin terutama di areal ilegal.
Kalau pidana misalnya, PT TPL itu menebang kayu di dalam Hutan Lindung maka bisa dikenakan UU P3H Jo UU No 11 Tahun 2020 atau UU Cipta Kerja Pasal 36 Ayat 12, bahwa menebang pohon dalam kawasan hutan tidak sesuai dengan perizinan berusaha terkait pemanfaatan hutan.
“Bisa dipidana, korporasi bisa didenda, lalu pengurusnya bisa dipenjara paling singkat lima tahun dan paling lama 15 tahun,” ungkapnya.
Setelah terbitnya UU Cipta Kerja, di mana 28 persen ilegal maka saat ini luas konsesi PT TPL yang legal adalah 135.383,34 Ha.
Namun menurut Made Ali, legal dan ilegalnya konsesi PT TPL, pihaknya menilai izin dimaksud tetap saja ilegal.
“Mau dia ilegal atau ilegal saat ini, areal konsesi PT TPL tetap saja ilegal. Karena tak ada pengukuhan kawasan hutan yang dilakukan di wilayah adat. Seluruh wilayah PT TPL tidak ada satu pun yang tidak punya masyarakat adat. Mau tidak mau, suka tidak suka, pengukuhan kawasan hutan harus dilakukan untuk menghindari legalitas yang ilegal maupun legalitas yang legal,” ujarnya.
Meski konsesi 135.358, 34 Ha milik PT TPL itu legal, tetapi tidak legitimate atau tidak diakui keberadaannya oleh masyarakat, utamanya masyarakat adat.
Melihat situasi ini, dia kemudian melihat peluang besar agar Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) melakukan pengukuhan kawasan hutan secara ulang dari awal.
Merujuk UU Cipta Kerja, PP 23/2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan jo Permen LHK No 7/2021 tentang Tata Cara Pelepasan Kawasan Hutan, itu harus melalui pengukuhan kawasan hutan.
Pengukuhan kawasan hutan pasca putusan Mahkamah Konstitusi No 45/2011, ada empat tahapan, dan semua tahapan harus dilakukan secara transparan.
“Intinya adalah konsesi TPL itu, mau yang ilegal atau yang legal, kedua-duanya ilegal. Kenapa? Karena tanpa melakukan pengukuhan kawasan hutan yang benar dan berkepastian hukum. []