Operasional Terminal Tanjung Pinggir Pematangsiantar memasuki pekan pertama. Meski sebagian PO mulai patuh, pelanggaran dan kendala layanan masih mewarnai penerapan kebijakan.
Pematangsiantar|Simantab – Pemusatan aktivitas naik dan turun penumpang angkutan antarkota dalam provinsi ke Terminal Tipe A Tanjung Pinggir mulai diuji efektivitasnya. Kebijakan yang diberlakukan sejak Selasa (16/12/2025) ini dimaksudkan untuk menertibkan lalu lintas dan mengembalikan fungsi terminal, namun pelaksanaannya masih menghadapi berbagai kendala di lapangan.
Kebijakan tersebut merupakan tindak lanjut rapat koordinasi 4 Desember 2025 yang menyepakati seluruh perusahaan otobus yang selama ini beroperasi di pusat kota harus berpindah ke Terminal Tanjung Pinggir. Untuk pengawasan, petugas gabungan dari Dinas Perhubungan, Satpol PP, dan Satlantas disiagakan di sejumlah titik rawan seperti Jalan Sutomo dan Jalan Sangnaualuh Damanik.
Kepala Seksi Terminal, Parkir, dan Perlengkapan Jalan Dishub Pematangsiantar, Muhammad Sofiyan Harianja, menyebut persoalan di lapangan tidak hanya soal kepatuhan sopir, tetapi juga keterbatasan kewenangan pemerintah kota.

“Izin operasional AKDP merupakan kewenangan provinsi. Kami hanya bisa mengimbau dan mengarahkan. Ketika mereka mengklaim tidak menaikkan atau menurunkan penumpang di pusat kota, ruang penindakan kami terbatas,” ujarnya, Jumat (19/12/2025).
Ia menilai resistensi sebagian perusahaan otobus dipicu pertimbangan ekonomi. Pengusaha khawatir kehilangan penumpang jika dipusatkan ke terminal, sementara kepastian jumlah penumpang belum terbentuk.
“Kalau masuk terminal tapi penumpang belum ada, setoran tetap berjalan. Di sisi lain, kalau tidak dipusatkan, angkutan kota resmi justru semakin terpinggirkan,” katanya.
Menurut Sofiyan, pemusatan di terminal seharusnya memberi dampak positif bagi sistem transportasi kota. Namun, ketidakseragaman penerapan justru memicu kebingungan penumpang dan konflik kepentingan di lapangan.
“Kalau semua tertib, lalu lintas lebih teratur dan angkutan kota hidup. Tapi jika sebagian masih bebas di jalan, sistem tidak akan berjalan,” ujarnya.
Sementara itu, Kepala Dinas Perhubungan Pematangsiantar Daniel Hamonangan Siregar menegaskan kebijakan tetap dijalankan meski belum sepenuhnya ideal. Ia menyebut sebagian besar perusahaan otobus mulai masuk ke terminal, walau pelanggaran masih ditemukan.
“Kami arahkan semua ke terminal. Masa transisi memang masih ada yang melanggar, dan petugas akan disiagakan hingga 31 Desember,” katanya, Kamis (18/12/2025).
Dari sisi regulasi, Kepala BPTD Wilayah II Sumatera Utara Ariyandi Ariyus menegaskan Terminal Tanjung Pinggir telah sah sebagai terminal utama angkutan AKDP. Karena itu, tidak ada alasan hukum bagi perusahaan otobus untuk menaikkan atau menurunkan penumpang di luar terminal.
“Ini kewajiban, bukan pilihan. Semua AKDP harus masuk terminal,” ujarnya, Jumat (19/12/2025).
Pengamat kebijakan publik Tunggul Sihombing menilai kebijakan ini tidak cukup hanya bertumpu pada regulasi. Ia menyoroti minimnya konektivitas angkutan lanjutan, fasilitas pendukung yang belum optimal, serta sosialisasi yang belum menyeluruh.
“Penumpang justru paling dirugikan. Bingung lokasi naik turun dan harus menambah ongkos,” katanya, Kamis (18/12/2025).
Menurutnya, pengalaman sepekan operasional Terminal Tanjung Pinggir menunjukkan bahwa penataan transportasi membutuhkan konsistensi penegakan aturan, kesiapan sistem, serta keberanian pemerintah mengevaluasi dampak sosial agar kebijakan tidak berhenti sebagai formalitas semata.(Putra Purba)






