DPR mendorong pengembangan sistem pemantauan literasi dan numerasi yang melibatkan guru, orang tua, serta komunitas sekolah.
Jakarta|Simantab – Krisis literasi kembali mencuat setelah ditemukan sejumlah siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) di berbagai daerah belum mampu membaca dan menulis dengan lancar. Ketua DPR RI, Puan Maharani, menanggapi temuan tersebut dengan kritik tajam terhadap sistem pendidikan nasional yang dinilai gagal menjamin kompetensi dasar para peserta didik.
“Jika anak-anak naik kelas tanpa kemampuan membaca yang memadai, kita sedang membangun masa depan bangsa di atas fondasi yang rapuh,” ujar Puan dalam siaran persnya, Jumat (18/7/2025).
Puan menekankan bahwa krisis literasi harus segera diatasi melalui pendekatan pendidikan yang lebih menyeluruh, serta terintegrasi dengan arah pembangunan nasional.
“Ini bukan tentang mencari kambing hitam, tapi memastikan sistem pendidikan kita berdiri di atas dasar yang kuat untuk mencapai visi Indonesia Emas 2045,” tegas politisi PDI Perjuangan tersebut.
Menurutnya, kemampuan membaca dan menulis merupakan fondasi utama dalam membentuk sumber daya manusia unggul yang menjadi kunci kemajuan bangsa.
Puan juga mengkritik pendekatan pendidikan saat ini yang terlalu menekankan pencapaian angka, tetapi mengabaikan kualitas pemahaman siswa. “Pendidikan harus lebih dari sekadar angka. Kita perlu sistem yang tidak hanya mengukur capaian, tetapi juga memastikan kualitas pemahaman peserta didik,” katanya.
DPR mendorong pengembangan sistem pemantauan literasi dan numerasi yang melibatkan guru, orang tua, serta komunitas sekolah. Pendampingan yang terarah diyakini akan membantu siswa dalam memahami materi pembelajaran dengan lebih baik.
“Tidak boleh ada lagi anak Indonesia yang tertinggal dalam kemampuan dasar. Setiap potensi anak harus diberi ruang tumbuh dalam ekosistem pendidikan yang berkualitas,” tambahnya.
Temuan Mengejutkan di Lapangan
Anggota Komisi X DPR RI, Furtasan Ali Yusuf, turut mengungkapkan fakta mencengangkan di lapangan. Dalam rapat kerja bersama Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu’ti, pada Rabu (16/7/2025), Furtasan mengungkapkan bahwa masih banyak siswa SMP yang belum bisa membaca.
“Banyak, Pak Menteri. Saya temukan anak kelas 1 dan kelas 2 SMP yang belum bisa baca,” ungkap Furtasan.
Ia menceritakan pengalamannya saat mengunjungi sejumlah sekolah di Kabupaten Serang. Di sana, siswa diminta menulis frasa sederhana seperti “Indonesia Raya” atau “Indonesia Emas”, namun kesulitan menyelesaikannya.
Padahal, berdasarkan data capaian nasional, tingkat literasi disebut mencapai 68 persen dan numerasi 66 persen. Namun, menurut Furtasan, kenyataan di lapangan justru jauh dari angka tersebut.
Politikus Partai NasDem itu menilai, salah satu penyebab lemahnya kemampuan literasi adalah kebijakan kurikulum yang membolehkan siswa naik kelas meski belum menguasai kemampuan dasar membaca dan menulis.
“Saya tanya kepala sekolah, kenapa bisa begitu? Ternyata memang kurikulum yang diterapkan membolehkan siswa naik kelas meski belum bisa membaca,” ujarnya.
Furtasan menilai, kondisi ini menjadi pekerjaan rumah besar bagi pemerintah dan pemangku kebijakan pendidikan. Jika tidak segera dibenahi, ia khawatir visi besar Indonesia Emas 2045 hanya menjadi mimpi tanpa pondasi nyata.
“Bagaimana anak-anak memahami ilmu pengetahuan dan teknologi kalau membaca saja masih kesulitan? Ini harus menjadi catatan serius,” pungkasnya.(*)