Kondisi ini membuat sopir berada di posisi serba salah. Di satu sisi mereka harus patuh pada aturan perusahaan, di sisi lain mereka ingin menjaga kenyamanan penumpang.
Pematangsiantar|Simantab – Suasana perjalanan bus kota di Pematangsiantar yang dulu ramai dengan musik dangdut, pop, hingga lagu Batak kini berubah senyap. Sejumlah perusahaan otobus (PO) melarang sopir memutar musik demi menghindari tagihan royalti yang nilainya disebut bisa menembus ratusan juta rupiah.
Larangan ini tentu berdampak kepada sopir dan penumpang, yang merasa perjalanan menjadi kurang terhibur.
Ketakutan Denda
Jamirin (40), staf marketing PO Eldivo Tunas Arta, mengatakan perusahaan memilih langkah ini karena khawatir terkena denda besar.
“Sekarang banyak sopir bus kompak enggak pakai lagu. Bukan karena mau suasana hening, tapi takut ada tagihan,” ujarnya, Selasa (19/8/2025).
Ia menambahkan, meski belum ada surat resmi, keputusan itu diambil untuk menghindari risiko keuangan. “Kalau sampai diklaim ratusan juta per unit bus, repot sekali. Bisa-bisa perusahaan bangkrut,” tegasnya.
Menurut Jamirin, biaya royalti yang disamaratakan dengan usaha besar dinilai tidak masuk akal. “Kami keberatan, tapi daripada ditagih, mau tak mau musik dimatikan. Kalau ditotal ke seluruh armada, bebannya sangat besar,” katanya.
Sopir Mengeluh, Penumpang Protes
Dampak paling terasa justru dirasakan para sopir. Radman Batubara (43), pengemudi bus rute Pematangsiantar–Balige, mengaku kerap mengantuk saat bus dalam keadaan sepi.
“Ada pengaruhnya. Kalau ada lagu, rasa mengantuk hilang sedikit. Kalau sepi malah berbahaya buat penumpang,” keluhnya.
Selain itu, penumpang juga kerap melayangkan protes. Mereka terbiasa menikmati musik selama perjalanan. “Pasti ada yang protes. Kadang saya terpaksa putar lagu pilihan penumpang biar suasana hidup,” kata Radman.
Kondisi ini membuat sopir berada di posisi serba salah. Di satu sisi mereka harus patuh pada aturan perusahaan, di sisi lain mereka ingin menjaga kenyamanan penumpang.
Musisi Menilai Sistem Tidak Adil
Musisi Petra Panjaitan, personel RAP Trio, menilai persoalan ini menunjukkan lemahnya sistem penerapan royalti di Indonesia. Menurutnya, aturan hak cipta seharusnya melindungi pencipta lagu, bukan justru mematikan semangat masyarakat untuk memutar musik.
“Masalahnya bukan pada kewajiban bayar royalti, tapi sistem yang tidak adil. Tarif untuk bus disamakan dengan hotel atau restoran. Padahal skalanya jauh berbeda,” kata Petra.
Ia menegaskan, banyak musisi justru senang lagunya diputar di ruang publik. “Orang Batak, misalnya, bangga lagu mereka dinyanyikan di lapo atau di jalanan. Sekarang malah orang takut memutar musik, ini ironis,” ujarnya.
Petra berharap ada regulasi yang lebih fleksibel, sehingga musisi tetap mendapat haknya dan masyarakat tidak terbebani.
Aturan Tetap Berlaku
Sementara itu, Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) menegaskan kewajiban membayar royalti berlaku bagi semua pelaku usaha yang memutar musik di ruang publik. Restoran, kafe, toko, pusat kebugaran, hotel, hingga transportasi umum masuk kategori tersebut.
Direktur Hak Cipta dan Desain Industri DJKI, Agung Damarsasongko, menegaskan meski pengusaha sudah berlangganan Spotify atau YouTube Premium, hal itu tidak menghapus kewajiban membayar royalti.
“Layanan streaming sifatnya personal. Begitu diputar di ruang usaha, itu penggunaan komersial. Harus ada lisensi tambahan,” jelasnya dalam keterangan tertulis, Senin (28/7/2025).
Pembayaran dilakukan melalui Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) sesuai amanat Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dan Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021. LMKN bertugas menghimpun serta mendistribusikan royalti kepada pencipta dan pemilik hak terkait.
Suara dari Jalanan
Di tengah polemik ini, sopir bus di Pematangsiantar tetap berada di barisan terdepan yang merasakan langsung dampaknya. Mereka menilai, jika aturan ini terus berjalan tanpa penyesuaian, keselamatan hingga kenyamanan penumpang bisa terancam.
“Kalau bus hening, sopir ngantuk, penumpang protes. Akhirnya kita yang pusing di jalan,” ujar Radman.
Bagi para sopir, musik bukan sekadar hiburan. Lagu-lagu yang menemani perjalanan telah menjadi bagian dari budaya perjalanan bus di Sumatera Utara. Kini, budaya itu terancam hilang hanya karena ketakutan denda royalti.(Putra Purba)