Konflik di MAN Pematangsiantar mencuat setelah guru sekaligus orangtua menuntut transparansi dana komite. Suara kejujuran menggema di tengah tuntutan akuntabilitas pendidikan.
Pematangsiantar|Simantab – Konflik internal di Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Pematangsiantar mencuat setelah seorang guru sekaligus orangtua siswa, Yendra Eka Putra, memasang spanduk berisi mosi tidak percaya terhadap pihak sekolah dan komite.
Aksi di depan gerbang sekolah di Jalan Singosari itu memantik polemik. Sebagian menilai sebagai keberanian menyuarakan aspirasi, sementara sebagian lain menganggapnya pelanggaran etika aparatur sipil negara.
Ketua Komite MAN Pematangsiantar, Imran Simanjuntak, menyebut tindakan Yendra murni pribadi dan tidak mewakili guru maupun orangtua.

“Ia bertindak sendiri, tapi seolah membawa nama banyak pihak,” ujarnya, Selasa (8/10/2025).
Namun Yendra menegaskan tindakannya bukan provokasi, melainkan bentuk kepedulian terhadap madrasah tempat ia mengajar dan anaknya bersekolah. Ia menyampaikan bahwa banyak orangtua merasa tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan, terutama terkait pengelolaan dana komite dan kegiatan sekolah.
Menuntut Keterbukaan
Yendra mengaku sudah lama berupaya menyalurkan aspirasi orangtua melalui jalur resmi, tetapi rapat evaluasi dana komite tak kunjung digelar.
“Dalam juknis komite tahun 2024 dijelaskan bahwa pengelolaan dana pendidikan harus transparan dan terbuka,” katanya, Kamis (9/10/2025).
Ia bahkan telah berkonsultasi ke Inspektorat, yang menekankan pentingnya publikasi laporan keuangan.
“Mereka bilang, laporan komite harus jelas dan bisa diakses orangtua,” tambahnya.
Namun transparansi itu tak juga terwujud. Yendra mengaku sudah berulang kali meminta laporan lengkap saat rapat, tetapi tak pernah diterima.
“Ketua komite janji menempelkan laporan di mading, tapi berbulan-bulan tidak ada. Baru muncul di November, itu pun tidak rinci,” ujarnya.
Grup WhatsApp Jadi Ruang Aspirasi
Pihak sekolah menilai Yendra memprovokasi orangtua melalui grup WhatsApp, namun ia membantah. “Saya buat grup itu sejak anak saya diterima di madrasah. Tujuannya silaturahmi dan menyampaikan aspirasi antarsesama orangtua,” jelasnya.
Grup itu, katanya, bukan wadah politik, melainkan sarana komunikasi. “Ada siswa ikut, saya keluarkan. Grup itu khusus orangtua,” tambahnya.
Lewat grup tersebut, banyak orangtua mencurahkan keluhan soal biaya dan fasilitas sekolah. “Ada yang berutang untuk bayar iuran, patungan buat pakaian tari, bahkan membayar sendiri saat anaknya ikut lomba. Saya membaca itu sampai menangis,” ujarnya lirih.
Ia juga menyoroti fasilitas dasar yang dinilai kurang layak. “Kamar mandi rusak, gayung tidak ada, pintu hancur. Saya malu sebagai guru membaca keluhan itu,” katanya.
Spanduk dan Tuntutan Akuntabilitas
Puncak keresahan terjadi ketika orangtua ingin berdialog dengan komite, tetapi justru diarahkan datang satu per satu ke rumah ketua komite.
“Itu tidak prosedural. Seharusnya rapat dilakukan terbuka,” ujar Yendra.
Ia mengaku membantu memasang spanduk sebagai bentuk solidaritas agar suara orangtua tidak diabaikan.
“Kami pasang hari Minggu sore, bukan jam sekolah. Supaya tidak gaduh. Saya bantu karena saya juga orangtua,” katanya.
Yendra juga mempertanyakan sejumlah pos laporan keuangan yang dinilainya janggal. “Ada dana olimpiade dan GPTN sampai 300 jutaan, tapi guru-guru tidak tahu dana itu untuk apa. Bahkan ada biaya komite 48 juta untuk transport dan minum pengurus,” ujarnya.
Meski begitu, Yendra menegaskan tidak bermaksud menuduh siapa pun. “Saya hanya ingin semuanya transparan. Jangan ada yang ditutup-tutupi,” katanya.
Harapan untuk Madrasah Lebih Baik
Yendra sadar posisinya rumit karena ia guru sekaligus orangtua siswa. “Saya hanya ingin madrasah ini lebih baik. Saya juga pernah masukkan kepala sekolah ke grup, tapi beliau hanya bertahan satu jam lalu keluar,” ujarnya.
Beberapa orangtua mendukung Yendra, salah satunya Hermansyah, orangtua siswa kelas XII. “Kami tidak ingin ribut, hanya ingin keterbukaan. Kalau semua transparan, kami juga tenang menitipkan anak di sini,” ucapnya.
Kini laporan atas tindakan Yendra telah dilayangkan ke Kanwil Kemenag. Namun perbincangan tentang transparansi dana di MAN Pematangsiantar terus menjadi perhatian publik.
“Saya tidak mencari masalah. Saya hanya ingin madrasah ini lebih baik. Karena saya cinta tempat ini. Anak saya juga sekolah di sini,” kata Yendra.
Polemik ini meninggalkan pesan penting: pendidikan bukan sekadar soal mengajar, tetapi juga soal kepercayaan, yang tumbuh dari kejujuran dan keterbukaan.