Warga telah menguasai dan mengelola lahan eks PTPN III sejak 2003, atau lebih dari 20 tahun. Oleh karena itu, ia mempertanyakan legalitas Hak Guna Usaha (HGU) yang diklaim perusahaan.
Pematangsiantar|Simantab – Air mata dan ketakutan telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari warga Kampung Baru, Kelurahan Gurilla, Kecamatan Siantar Sitalasari, Kota Pematangsiantar. Sengketa lahan yang berlarut-larut dengan PT Perkebunan Nusantara (PTPN) III sejak 2022 kini mendapat sorotan tajam dari berbagai pihak, termasuk Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham).
Kehadiran Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) RI, Mugiyanto, di lokasi pada Jumat (16/05/2025) menjadi secercah harapan baru bagi warga yang selama ini hidup dalam ketidakpastian dan intimidasi.
Intimidasi dan Kekerasan, Warga Merasa Terancam
Ketua Serikat Petani Sejahtera Indonesia (Sepasi), Tiomerly Sitinjak, mengungkapkan bahwa intimidasi terhadap warga Gurilla terus terjadi sejak 2022. Rumah dilempari, tanaman dirusak, ternak hilang, dan konvoi motor berknalpot brong kerap mengganggu ketenangan warga.
“Kami mendapat somasi, bahkan mengalami kekerasan. Ini bukan kehidupan yang layak,” ujar Tiomerly, Senin (09/06/2025).
Menurutnya, warga telah menguasai dan mengelola lahan eks PTPN III sejak 2003, atau lebih dari 20 tahun. Oleh karena itu, ia mempertanyakan legalitas Hak Guna Usaha (HGU) yang diklaim perusahaan.
Tiomerly juga menyoroti pelaksanaan Program Strategis Nasional (PSN), yang justru memicu penggusuran paksa terhadap rumah dan lahan warga oleh eks PTPN III menggunakan alat berat, dengan pengawalan aparat TNI/Polri serta petugas pengamanan swakarsa.
“Pemberian uang tali asih kepada warga bukan terjadi karena kesadaran, tapi akibat intimidasi. Beberapa warga yang menolak menerima tali asih justru rumahnya digusur,” tambahnya.
Wamenkumham: Hentikan Kekerasan, Prioritaskan Kemanusiaan
Wamenkumham Mugiyanto dalam kunjungannya secara tegas meminta semua pihak menghentikan segala bentuk intimidasi dan kekerasan terhadap warga.
“Warga menguasai lahan bukan untuk menjadi kaya, tapi untuk bertahan hidup,” tegas Mugiyanto.
Ia meminta Kanwil Kemenkumham Sumatera Utara dan aparat penegak hukum memantau situasi dan menjamin rasa aman warga. Seluruh kementerian terkait juga diminta segera duduk bersama untuk menyelesaikan konflik secara adil dan berkeadilan.
“Kami minta manajemen kebun menahan diri. Jangan sampai ada konflik fisik sebelum Rapat Dengar Pendapat (RDP) digelar. Kita cari solusi bersama,” ujarnya.
Data dan informasi yang diperoleh dari warga serta lembaga pendamping akan menjadi bahan Kemenkumham dalam merumuskan kebijakan penyelesaian yang berlandaskan pada prinsip perlindungan, pemajuan, pemenuhan, penegakan, dan penghormatan HAM (P5HAM).
Pemko Siantar: Perlu Komitmen Baik dari PTPN III
Kepala Bagian Tata Pemerintahan (Kabag Tapem) Pemko Pematangsiantar, Hendra Simamora, menyampaikan bahwa pertemuan antara Wamenkumham, Kapolres, Forkopimda, serta tokoh masyarakat seperti Ketua PMS, Alex Hendrik Damanik, dilakukan demi mencari titik terang konflik lahan tersebut.
“Kami hanya memediasi. Tapi jika ada niat baik dari PTPN III, konflik ini seharusnya mudah diselesaikan,” ucap Hendra.
Ia menekankan bahwa kawasan tersebut telah dihuni warga selama dua dekade, dan telah terbentuk peradaban: ada jalan, rumah ibadah, bahkan fasilitas publik lainnya.
Hendra juga mengingatkan, dalam aturan perpanjangan HGU, perusahaan diwajibkan menyediakan 20% lahan sebagai plasma bagi masyarakat sekitar. Ini merupakan langkah konkret penyelesaian konflik yang diinisiasi pemerintah pusat.
“Masyarakat ini bagian dari rakyat Indonesia. Mereka hanya butuh kepastian untuk hidup dan bertani tanpa rasa takut,” tegasnya.
PTPN III sendiri mengklaim bahwa lahan masuk dalam HGU Nomor 1 Tahun 2006 dan bahwa sebagian besar warga telah menerima tali asih. Namun, sejumlah warga yang menolak pindah tetap bertahan, dan perusahaan juga menyatakan telah memenangkan gugatan di PTUN.(putra purba)