Konversi sebagian areal kebun teh Sidamanik menjadi perkebunan kelapa sawit menuai gelombang protes keras dari masyarakat, khususnya warga lokal dan tokoh-tokoh adat.
Simalungun|Simantab – Aroma harum daun teh Sidamanik yang selama ini menjadi kebanggaan dan identitas Simalungun, perlahan terancam digantikan oleh bau menyengat dari minyak kelapa sawit. Di balik rencana konversi kebun teh oleh PT Perkebunan Nusantara IV (PTPN IV), muncul kekhawatiran besar: akankah upaya ini membawa keuntungan ekonomi, atau justru menjerumuskan Simalungun pada bencana ekologis dan hilangnya warisan budaya?
Konversi sebagian areal kebun teh Sidamanik menjadi perkebunan kelapa sawit menuai gelombang protes keras dari masyarakat, khususnya warga lokal dan tokoh-tokoh adat. Salah satu suara paling vokal datang dari Ketua Ikatan Keluarga Islam Simalungun (IKEIS), Lisman Saragih, yang menilai kebijakan ini sebagai ancaman serius terhadap lingkungan dan identitas masyarakat Simalungun.
Protes Masyarakat dan Kekhawatiran Ekologis
Dalam wawancara yang dilakukan pada Jumat (25/7/2025), Lisman menyatakan bahwa rencana tanam ulang kelapa sawit di Afdeling III dan VI Kebun Bah Butong, sebagaimana tercantum dalam surat resmi dari manajer kebun PTPN IV Regional II tertanggal 1 Juli 2025, telah memicu keresahan luas.
“Setiap kali hujan, banjir besar selalu terjadi. Ini bukan hal baru, kami sudah melihat dampak sawit di Marjandi—jalan lintas utama sampai tergenang, transportasi terganggu,” kata Lisman.
Ia juga menyayangkan janji-janji yang menurutnya tidak pernah ditepati oleh PTPN IV, mulai dari pembangunan agrowisata hingga fasilitas pengendali banjir. Menurutnya, konversi ini bukan hanya soal pohon yang ditebang, tapi soal masa depan masyarakat dan jati diri Simalungun.
Lisman menegaskan, teh bukan sekadar komoditas. Ia adalah identitas. Bahkan secara simbolik, keberadaan teh telah dilegitimasi melalui Perda Nomor 5 Tahun 1960 tentang lambang Kabupaten Simalungun. Ia pun menduga, beberapa lahan yang saat ini tampak tak produktif sebenarnya sengaja dibiarkan, agar dapat dijustifikasi sebagai alasan konversi.
“Jika dipaksakan, bukan tidak mungkin konflik sosial terjadi. PHK buruh teh bisa terjadi secara besar-besaran, dan jangan lupakan ancaman bencana ekologis: longsor, banjir, kerusakan mata air,” ujarnya.
Tanggapan PTPN IV: Konversi Hanya pada Lahan Tak Produktif
Menanggapi polemik yang berkembang, Kepala Bagian Sekretariat dan Hukum PTPN IV, Muhammad Ridho Nasution, menegaskan bahwa konversi dilakukan secara selektif, hanya pada lahan-lahan teh yang tidak lagi produktif atau telah lama terbengkalai.
“Ini bukan penggundulan atau pembongkaran besar-besaran. Kami melakukan revitalisasi terhadap aset-aset yang tidak lagi optimal,” ujar Ridho.
Menurutnya, kajian menyeluruh, termasuk AMDAL, telah dilakukan. Tujuannya bukan semata mengejar profit, tetapi menjaga keberlanjutan bisnis tanpa mengabaikan aspek lingkungan dan sosial.
Ridho juga menyampaikan bahwa pihaknya memiliki program mitigasi dampak sosial, seperti pelatihan keterampilan baru bagi buruh, penempatan kerja di unit usaha lain, hingga program kewirausahaan.
“Kami tidak akan meninggalkan para pekerja begitu saja. Justru kesejahteraan mereka menjadi prioritas kami dalam transformasi ini,” tegasnya.
Pandangan Pemerintah Daerah: Teh dan Wisata Masih Jadi Prioritas
Di sisi lain, Dinas Kebudayaan, Pariwisata, dan Ekonomi Kreatif (Disbudparekraf) Kabupaten Simalungun turut menyikapi dinamika ini. Kepala dinas, M Fikri Damanik, mengakui bahwa perubahan lanskap Sidamanik akibat konversi bisa mempengaruhi citra wisata kawasan tersebut.
“Sidamanik bukan hanya soal teh, tapi lanskapnya yang hijau adalah magnet utama wisata. Jika itu berubah, tentu promosi pariwisata harus menyesuaikan,” katanya.
Namun, Fikri juga memastikan bahwa pihaknya telah berkomunikasi dengan PTPN IV agar tidak melakukan konversi secara luas, melainkan terbatas di area tak produktif.
Ia menambahkan, pemerintah daerah tengah menyusun strategi baru agar wisata Sidamanik tidak hanya bertumpu pada teh. Air terjun, budaya lokal, hingga wisata kuliner akan digali lebih dalam sebagai daya tarik tambahan.
“Fokus kami adalah melindungi ‘jantung’ Sidamanik. Kalau ada perubahan, kami akan menyesuaikan dengan narasi baru: keharmonisan antara konservasi, budaya, dan perubahan ekonomi,” tambahnya.
Disbudparekraf juga merancang kerja sama agrowisata terpadu bersama PTPN IV dan masyarakat. Gagasan seperti tur edukasi, tea tasting, homestay, hingga produk turunan dari teh akan mulai dikembangkan.
Antara Ekonomi dan Identitas: Jalan Tengah Masih Mungkin?
Pertarungan antara efisiensi ekonomi dan pelestarian budaya kini berada di persimpangan. Sidamanik bukan sekadar tanah subur—ia adalah simbol hidup masyarakat Simalungun yang telah menyatu dengan alam dan tradisi.
Kini, saat ranting-ranting teh mulai merunduk di bawah bayang-bayang sawit, pertanyaannya bukan hanya soal nilai ekonomis per hektare, tetapi nilai sejarah dan lingkungan yang bisa hilang dalam hitungan tahun.
Konversi bisa jadi langkah bisnis yang rasional, namun apakah itu juga keputusan yang bijaksana untuk masa depan Simalungun? Jawabannya masih mengendap di kabut perkebunan, menunggu suara paling lantang: rakyat.(putra purba)